Senin, 07 Juni 2010 | By: oyil-5225.blogspot.com

PENGAJARAN AL-QUR’AN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN ISLAM (Masa Nabi SAW)

A.PENGAJARAN AL-QUR’AN
 Nabi Muhammmad telah mengajarkan dengan sempurna, mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabat, dan telah dengan sempurnapula memberikan penjelasan menurut keperluanya pada masa itu. Demikian beliau telah memberikan contoh yang sempurna bagaimana melaksanakan dan mempraktekkan ajaran al-qur’an dalam kehidupan sehari hari sesuai dengan situasi dan kondisi pada masa itu.

Ayat pertama yang diwahyukan pada Nabi Muhammad adalah, "Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah menciptakan." Tak ada bukti bahwa Nabi Muhammad pernah belajar seni menulis dan umumnya orang sepakat bahwa ia buta huruf sepanjang hayat. Sepotong ayat di atas memberi isyarat bukan tentang persoalan buta huruf, melainkan penting­nya pendidikan yang sehat bagi masyarakat di masa mendatang. Nabi Muhammad mencurahkan segala upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam pengembangan pendidikan, manfaat serta imbalan para pelajar dan juga sanksi hukum bagi pengekang ilmu pengetahuan. Abu Huraira melaporkan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda, "Siapa yang memilih jalan pencarian ilmu pengetahuan, Allah akan membuka baginya jalan menuju surga." Sebaliknya beliau memberi peringatan, "Siapa yang ditanya ilmu yang telah dikuasai lalu ia sembunyikan, orang itu akan dililit api neraka di hari Kiamat

Nabi Muhammad minta para ilmuwan dan yang masih belum berbudaya agar kerja sama menasihati mereka yang tidak pernah belajar, dan kaum cendekiawan agar mau mengembangkan ilmunya pada para jiran.4 Penekanan diberikan pada setiap yang memiliki keahlian karya tulis di mana dalam sebuah hadith ditegaskan agar mengambil peran laksana seorang ayah pada anak.

Nabi adalah pelopor pendidikan gratis di mana saat `Ubada b. as-Samit menerima hadiah dari seorang pelajar (dengan niatan untuk kepentingan Islam), Nabi Muhammad menegurnya, "Jika mau menerima lilitan api neraka di leher anda, maka ambilah hadiah itu."

Non-Muslim pun juga diberi tugas mengajar membaca di masa kehidup­an rasul. Uang tebusan tahanan Perang Badar juga berlainan. Beberapa di antara mereka mendapat tugas mengajar menulis pada anak-anak.

1. Hadiah Belajar, Mengajar, dan Membaca Al-Qur'an.
a. Nabi Muhammad tidak pernah menyia-nyiakan upaya dan keinginan masyarakat dalam mempelajari Kalamullah:
b. 'Uthman bin 'Affan melaporkan bahwa Nabi Muhammad pernah ber­sabda, "Yang terbaik di antara kamu sekalian ada]ah yang mempelajari Al-Qur'an kemudian mengajarkan pada orang lain."
c. Kata-kata yang sama juga dilaporkan oleh `Ali bin Abi.Talib.
Menurut Ibn Mas'ud Nabi Muhammad memberi komentar, "Siapa yang membaca satu huruf Kitab Allah la akan diberi imbalan amal saleh, dan satu amal saleh akan mendapat pahala sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif lam mim sebagai satu huruf melainkan alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf."

Di antara pahala seketika bagi yang mempelajari Al-Qur'an adalah peng­hargaan umat Islam agar bertindak sebagai imam shalat, suatu kedudukan penting yang secara khas diberikan di awal permulaan Islam. 'A'isha clan Abu Mas'ud al-Ansari melaporkan sabda Nabi.

Muhammad, "Seorang yang be]ajar yang memiliki hafalan terbanyak hendaknya menjadi imam sha]at.11 Amir bin Salima al-Jarmi bercerita bahwa orang-orang dari suku bangsanya menemui Nabi Muhammad menyatakan diri hendak masuk Islam. Sebelum berangkat mereka bertanya, "Siapa yang akan mengimami shalat kita?" Beliau menjawab, "Orang yang menghafal Qur'an, atau mempelajarinya lebih banyak."12 Pada detik-detik akhir kehidupan Rasulullah, kedudukan imam shalat diberikan pada Abu Bakr setiap hari. Hal ini merupakan agung saat penentuan khalifah umat Islam.

Segi positif lainnya adalah penyebab kemungkinan para Malaikat ber­sama kita. Usaid bin Hudair sedang membaca Al-Qur'an bagian terakhir di satu malam di mana seekor kudanya melompat-lompat ketakutan. Saat ia berhenti, seekor kuda All pun terdiam, dan saat membaca, kuda itu me­lompat-lompat kembali. Kemudian ia berhenti karena khawatir anaknya terinjak. Saat ia berdiri dekat kuda, ia melihat sesuatu seperti tenda meng­gantung di awang-awang penuh lampu-lampu bersinar menjulang ke langit dan kemudian menghilang. Hari berikutnya, la pergi menemui Nabi Muhammad menceritakan kejadian malam itu. la memberitahukan agar terus-menerus membacanya dan Usaid bin Hudair menjawab bahwa ia berhenti karena demi keselamatan anaknya, Yahya. Kemudian Nabi Muhammad berkata, 'Mereka adalah para Malaikat sedang mendengar dan mestinya anda terus membacanya, sebenarnya orang lain bisa melihat di pagi hari karena tidak akan bersembunyi dari mereka.".

Ibn ‘Umar meriwayatkan, "Kecemburuan hanya dibenarkan dalam dua hal: seorang yang telah menerima ilmu Al-Qur an dan membacanya di siang dan malam hari dan orang yang diberi karunia kekayaan Allah serta membantu orang lain di malam dan siang hari.

Setelah nabi Muhammad saw wafat dan islam berkembang secara luas dan diterima oleh bangsa diluar arab maka situasi berubah. Sumber pengajaran pada masa itu adalah para sahabat, mereka bertanggung jawab mengajarkan al-qur,an memberikan penjelasan dan pengertian yang terkandung dalam al-qur,an agar dimengerti oleh orang orang yang baru masuk islam. Mereka bertanggung jawab memberikan contoh tentang cara mempraktekkan al-qur,an dalam kehidupan sehari hari.

Problema pertama yng dihadapi para sahabat dalam pengajaran al-qur’an adalh menyangkut al-qur’an itu sendiripada masaitu. Al-qur’an secara lengkap dan sempurna telah ada dalam hafalan umumnya para sahabat, tetapi tidak semua sahabat hafal sepernuhnya al-qur’an.disamping itu al-qur’an masih dalam bentuk tulisan tulisan yang berserakan ,yaitu yang ditulis oleh para sahabat yang pandai menulis atas perintah nabi muhamad saw selama proses penurunan al-qur’an. Jadi belum merupakan mushaf yang kita lihat sekarang.

Sementara itu dengan meninggalnya sebagian sahabat yang hafal al-qur’an berarti semakin berkuranglah nara sumber, khawatir akan hal tersebut umar bin khattab lalu membicarakanya dengan kholifah abu bakar.

Dalam usaha mengumpulkan ayat ayat al-qur’an tersebut, zaid bin sabit bekerja sangat hati dan teliti, walaupun ia hafal sepenuhnya ayat al-qur’an tetapi ia masih memandang perlu untuk mencocokkan kembali hafalanya dengan sahabat lain. Dalam hal ini di bantu oleh sahabat lainya yang hafal yaitu ubay bin kaab, ali bin abi thalib dan ustman bin affan. Setelah terkumpul seluruh ayat al-qur’an dan disusun menurut susunan dan urutan yang ada dalam hafalan mereka, kemudian dituliskan jkembali dalam lembaran yang seragam dan diikat menjadi satu mushaf, inilah mushaf pertama dan demikian sempurnalah al-qur,an dalam bentuk bacaan atau hafalan.

Pengajaran al-qur’an kepada yang baru masuk islam dengan hafalan sahabat yang mengajar membacakan al-qur’an membacakan ayat al-qur’an kemudian dihafal oleh mereka yang belajar. Problema yang muncul dalam pengajaran al-qur’an adalah masalah pembacaan (qiroat) . al-qur’qn adalah bacaan dalam bahasa arab, jadi mereka yang tidak bisa bahasa arab harus menyesuaikan lidahnya dengan lidah orang arab, hal ini memerlukan proses dan waktu, menuntut ketekunan dan kesabaran dari para sahabat dan para pengajar, oleh karena itu pengajaranya selalu dibarengi dengan pengajaran bahasa arab secara sederhana.

Problema qiraat tersebut Nampak setelah terjadi komunikasi antara kaummuslimin satu daerah dengan daerah lainya, para sahabat mengajarkan al-qur’an menurut bacaan dengan dialek (lahjah) masing masing. Penggunaan lahjah yang berbeda beda itu tidaklah menjadi masalah selama masih dalam lingkungan kaum muslimin yang berbahasa arab.Dan rasul allah pun memperkenalkan hal yang demikian. Tetapi setelah al qur’an diterima dan dihafal oleh kaum muslimin yang tidak berbahasa arab maka kaum muslimin dari satu daerah yang diajar denga satu dialek, akan merasa asing dengan bahasa itu, yang tentunya akan membingungkan mereka. Apalagi timbul anggapan bahwa bacaan mereka yang benar sedangkan lainya salah, mereka pun berselisih dalam pembacaan al-qur’an dan salinhg mempertahankan kebenaran masing masing. Hal ini disadari pada masa kholifah usman bin affan.

Sahabat yang memperhatikan adanya pertikaian umat islam dalam hal pembacaan al-qur’an adalah huzaifah bin yaman sewaktu ikut dalam pertempuran di Armenia dan azerbeijan. Selama dalam perjalananya ia mendengar pertikaian antara kaum muslimin tentang bacaan al-qur’an dan saling mempertahankan kebenaran bacaan masing masing. Setelah kembali ke madinah ia segera melapor khalifah usman bin affan dan mengusulkan untuk segera mengatasi perselisihan tersebut. Khalifah usman bin affan meminjam naskah atu lembaran yang ditulis pada zaman abu bakar yang pada waktu itu disimpan oleh hafsah binti umar untuk ditulis kembali. Panitia diketuai oleh zaid bin tsabit ( penulis mushaf pada masa abu bakar juga penulis al-qur’an pada masa nabi Muhammad) dengan anggota: Abdullah bin zubair bin ash dan Abdurrahman bin haris. Dalam menuliskan kembali al-qur’an tersebut, usman menasihatkan panitioa untuk : (1) mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-qur’an (2) kalau ada pertikaian antara mereka tentang bacaan tersebut maka haruslah ditulis menurut dialek suku quraisyi’ sebab al-qur’an itu diturunkan menurut dialek mereka, Al-quran yang dibukukan dinamakan mushaf dan oleh panitia dibuat 5 buah mushaf, kemudian oleh khalifah masing masing ke syiria, basrah dan kufah, sedang yang satu tetap dipegang khalifah sendiri di madinah, khalifah usman memerintahkan agar catatan yang ada sebelumnya dibakar dan supaya umat islam berpegang kepada mushaf yang lima itu, baik dalam pembacaan dan penyalinan berikutnya.

Manfaat penulisan al-qur’an dimasa Usman adalah:
a. Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisanya.
b. Menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada perbedaanya, namun harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf usman.
c. Menyatukan tertib susunan surat surat, menurut tertib urut sebagai yang kelihatan pada mushaf mushaf sekarang ini.

Untuk memudahkan pengajaran al-qur’an bagi kaum muslimin yang tidak berbahasa arab maka guru al-qur’an mengusahakan :
a) Mengembangkan cara membaca al-qur’an dengan baik kemudian menimbulkan ilmu tajwid al-qur’an.
b) Meneliti cara pembacaan al-qur’an yang telah berkembang pada masa itu, mana yang sah dan sesuai dan yang tidak sesuai. Hal ini kemudian menimbulkan adanya ilmu qiraaat yang disebut qiraat al sab’ah.
c) Memberikan tanda tanda baca dalam tulisan mushaf, sehingga mempermudah membacanya.
d) Memberikan penjelasan tentang maksud dan pengertian yang dikandung ayat al-qur’an yang diajarkan kemudian berkembang menjadi ilmu tafsir. 

B. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN ISLAM
Sejak Nabi Muhammad menjadi Rosull sebagai tanda datangnya islam sampai islam yang berjalan sekitar 14 abad. Nabi muhammad melakukan pendidikan islam setelah diperintah oleh Allah, pada saat itu adalah masa awal pendidikan islam yang tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara dan baru muncul pada masa belakangan yakni dengan kebangkitan madrasah. Pendidikan islam pada masa awal merupakan salah satu bidang kebudayaan islam yang belum banyak diketahui sampai sekarang. Permulaan pendidikan islam bisa ditemukan di Makkah. Nabi Muhammad dapat dikatakan pengajar atau pendidik muslim pertama (mua’llim) memang berdasarkan perintah Allah untuk membuka pintu gerbang pengetahuan bagi manusia.

Pada masa ini pendidikan islam diartikan pembudayaaan ajaran islam yaitu memasukan ajaran-ajaran islam dan menjadikanya sebagi unsur budaya Arab dan menyatu ke dalamnya. Dengan pembudayaan ajaran Islam kedalam sistem dan lingkungan budaya bangsa Arab tersebut, maka tebentuklah sistem budaya Islam dalam lingkungan budaya bangsa Arab dalam proses pembudayaan ajaran Islam kedalam lingkungan budaya bangsa Arab berlangsung beberapa cara. Adakalnya Islam mendatangkan sesuatu ajaran bersifat memperkaya dan melengkapi unsur yang telah ada dengan menambahkan budaya yang baru. Dan ada kalanya menentang sama sekali dengan budaya sebelumnya yang sudah menjadi adat istiadat.

Sebagai mana telah dikemukakan bahwa akibat adalah mewariskan nilai budaya kepada generasi muda dan mengembangkannya. Oleh karenanya pendidikan islam pada hakikatnya adalah mewariskan nilai buadaya islam kepada generasi muda dan mengmbangkannya oleh karenanya pendidikan islam pada hakikatnya adalah mewariskan nilai budaya islam kepada generasi muda dan mengembangkanya sehingga mencapai dan memberikan manfa’at maksimal bagi hgidup dan kehidupan manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Kalau masa nabi Muhammad SAW dianggap sebagai masa penyemaian nilai kebudayaan islam kedalam system budaya bangsa arab pada masa itu, dengan meluasnyaajaran islam dipeluk oleh bangsa-bangsa diluar bangsa arab yang mempunyai system budaya yang berbeda-beda, maka masa pendidikan masa ini, berarti penamaan secara luas nilai dari kebudayaan isalm agar tumbuh dengan suburnya dalam lingkungan yang lebih luas.

Masyarakat yang diluar bangsa arab yang menerima islam, pada umumnya telah hidup dalam suatu system budayayang telah berkembang, melebihi perkembangan system budaya bangsa arab pada masa turunya bangsa islam. Dengan demikian islam menghadapi unsure-unsur budaya baru yang berbeda dengan budaya-budaya bangsa arab yang pernah di hadapinya. Daerah-daerah mesir, Syria Persia, samarkand dan India yang dikuasai oleh umat muslimin pada masa itu adalah merupakan pusat-pusat kebudayaan yang terkenal maju. Mendapat tantangan dari unsure-unsur kebudayaan setempat yang telah berkembang tersebut, maka tumbuh dan berkembang pula kebudayaan islam yang didasari oleh ajaran islam.

Islam adalah agama fitrah, agama yang berdasarkan potensi dasr manusia dengan petunjuk allah. Pendidikanisalam berarti menumbuhkan dan mengembangkan potensi fitrah tersebut, dan mewujudkanyadalam system budaya manusiawi yang islami. Oleh karena itu, wajarlah kalu islam menerima sebagian dari unsure-unsur budaya manusiawi yang telah berkembang tersebut sepenjang bisa diarahkan dan diwarnai sebagai budaya yang islami. Adapun bidaya manusia yang telah berkembang tersebut yang menyimpang dari potensi fitrah manusiwi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip budaya islam. Islam menolaknya dan menggantinya dengan budaya baru yang islami.

Dengan demikian, pada masa pertumbuhan kebudayaan Islam ini, sebenarnya terjadi dialog yang seru antara prisip-prinsip budaya Islami sebagai mana yang terkandung dalam Al-Qur’an dengan budaya manusiawi yang telah berkembang pada masa itu. Dialog itu menampakkan perbedaan pemikiran karena makin bertambahnya pemeluk agama Islam. Bentuk kongkritnya adalah tumbuhnya berbagai aliran dan mazhab dalam berbagai aspek budaya Islami.

Masalah yang pertama-tama dihadapi oleh para sahabat begitu Rasulullah wafat, adalah masalah siapa dan bagaimana pengganti menggantikanya. Karena beliau tidak memberikan petunjuk dalam hal ini. Namun kemudian berdasarkan hasil musyawarah para shabat denganjalan bai’at kaum muslimin pada waktu itu kepada Abu Bakar.

Pada garis besarnya pemikiran Islam dalam pertumbuhanya muncul dalam 3 pola, yaitu:
a) Pola pemikiran yang bersifat skolastik yangterikat pada dogma-dogma dsan berpikir dalam rangka mencari pebenran terhadap dogma-dogma agama. Mereka terikat pada wahyu / ayat-ayat al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi Muahammad SAW. Menurut pola piker ini kebenaran yang sesungguhnya hanya diperoleh manusia denganperntara wahyu, sedangakan akal hanya berfungsi sebagai penerima saja. Akal harus tunduk kepada wahyu.
b) Pola perikiran yangbersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran. Pola piker ini mengganggap bahwa akal pikiran, sebagaimana juga halnya dengan wahyu adalah merupakan sumber kebenaran. Akal bisa mencapai kebenaran walaupun tanpa wahyu. Mereka menggunakan akal pikiran unutk mencari kebenaran dan kemudian wahyu berfungsi sebagai penunjang kebenaran yang diperoleh akal, dan mereka berpandangan kebeneran wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan.
c) Pola pemikiran yang bersifat batiniyah dan intuitif, yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufitis. Kebenaran yang sesungguhnya dan yang tertinggi adalah kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman- pengalaman batin dalam kehidupan yang mistis dan dengan jalan berkontemplasi. Menurut pola piker ini, seorang yang akan mencari kebenaran harus melalui tangga-tangga , yaitu dari tangga terbawah yaitu syari’at, kemudian tarikat, hakikat, untuk sampe ke tanggayang tertinggi disebut ma’rifat. Pada tingkat ma’rifat seseoarang memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Pola ini dalam dunia Islam, pada mulanya dikembangkan oleh golongan ahli sufi,. Kemudia setelah Imam Al-Gazali, diterima oleh umat Islam secara umum.

Perkembangan ilmu paling pesat dalam Islam terjadi ketika kaum muslimin bertemu dengan kebudayaan dan peradaban yang telah maju dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Perkembang­an tersebut semakin jelas sejak permulaan kekuasaan Bani Abbas pada pertengahan abad ke-8. Pemindahan ibukota Damsyik (Damascus) yang terletak di lingkungan Arab ke Baghdad yang berada di lingkungan Persia yang telah memiliki budaya keilmuan yang tinggi dan sudah mengenal ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, menjadi alat picu semaraknya semangat keilmuan yang telah dimiliki oleh kaum muslimin.

Pada masa ini umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan baik aqli ( rasional ) maupun yang naqli mengalami kemajuan dengan sangat pesat. Proses pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai buku karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa yunani, romawi, dan persia, serta berbagai sumber naskah yang ada di timur tengah dan afrika, seperti mesopotamia dan mesir.

Cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sejak zaman Nabi Muhmmad SAW sampai sekarang. Pendidikan Islam mulai dilaksanakan Rasulullah setelah mendapat perintah dari Allah melalui firmannya QS. 74 : 1-7, langkah awal yang ditempuh oleh Nabi adalah menyeru keluarganya, sahabat-sahabanya, tetangga dan masyarakat luas.

Pada masa Nabi, Negara Islam meliputi seluruh jazirah Arab dan pendidikan Islam berpusat di Madinah, setelah Rasulullah wafat kekuasaan pemerintahan Islam dipegang oleh Khulafaurrasyidin dan wilayah Islam telah meluas di luar jazirah Arab. Para khalifah ini memusatkan perhatiannya kepada pendidikan, syiarnya agama dan kokohnya Negara Islam.

PENUTUP
Sejarah tidak selalu bersahabat dengan Kitab suci. Injil asli Nabi ‘Isa (Jesus), sebagaimana akan kita lihat kemudian, telah lenyap sejak awal dan diganti dengan karya penulis yang tidak memiliki hubungan keilmuan dengan sumber pertama; demikian pula dengan kitab perjanjian lama yang telah mengalami penderitaan begitu kronik karena tidak adanya perhatian. Hal itu sama sekali bertentangan dengan kitab Al-Qur'an yang diberkahi dengan penyebaran yang begitu cepat ke seluruh Jazirah Arab sejak kehidupan Nabi Muhammad, yang disebarkan oleh para sahabat yang secara langsung men­dapat pengajaran dari Nabi Muhammad sendiri. Adanya para huffaz memberi saksi atas kesuksesan dalam hal ini.

Pada garis besarnya pemikiran Islam dalam pertumbuhanya muncul dalam 3 pola, yaitu;
a. Pola pemikiran yang bersifat skolastik yangterikat pada dogma-dogma dsan berpikir dalam rangka mencari pebenran terhadap dogma-dogma agama. Mereka terikat pada wahyu / ayat-ayat al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi Muahammad SAW.
b. Pola perikiran yangbersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran.
c. Pola pemikiran yang bersifat batiniyah dan intuitif, yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufitis. Kebenaran yang sesungguhnya dan yang tertinggi adalah kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman- pengalaman batin dalam kehidupan yang mistis dan dengan jalan berkontemplasi.


DAFTAR PUSTAKA
http://www.joomla.org/
Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Departemen Agama direktorat jenderal kelembagaan islam. Jakarta: 2005
Sejarah Pendidikan Islam; Dra. Zuharini, dkk; PT. Bumi Aksara; 2008; jakarta;
Join Multiply to get updates from eN Ge Be
http://digilib.sunan-ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=sbunbsk-gdl-mhddalpen-

0 komentar:

Posting Komentar