Senin, 07 Juni 2010 | By: oyil-5225.blogspot.com

PENGAJARAN AL-QUR’AN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN ISLAM (Masa Nabi SAW)

A.PENGAJARAN AL-QUR’AN
 Nabi Muhammmad telah mengajarkan dengan sempurna, mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabat, dan telah dengan sempurnapula memberikan penjelasan menurut keperluanya pada masa itu. Demikian beliau telah memberikan contoh yang sempurna bagaimana melaksanakan dan mempraktekkan ajaran al-qur’an dalam kehidupan sehari hari sesuai dengan situasi dan kondisi pada masa itu.

Ayat pertama yang diwahyukan pada Nabi Muhammad adalah, "Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah menciptakan." Tak ada bukti bahwa Nabi Muhammad pernah belajar seni menulis dan umumnya orang sepakat bahwa ia buta huruf sepanjang hayat. Sepotong ayat di atas memberi isyarat bukan tentang persoalan buta huruf, melainkan penting­nya pendidikan yang sehat bagi masyarakat di masa mendatang. Nabi Muhammad mencurahkan segala upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam pengembangan pendidikan, manfaat serta imbalan para pelajar dan juga sanksi hukum bagi pengekang ilmu pengetahuan. Abu Huraira melaporkan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda, "Siapa yang memilih jalan pencarian ilmu pengetahuan, Allah akan membuka baginya jalan menuju surga." Sebaliknya beliau memberi peringatan, "Siapa yang ditanya ilmu yang telah dikuasai lalu ia sembunyikan, orang itu akan dililit api neraka di hari Kiamat

Nabi Muhammad minta para ilmuwan dan yang masih belum berbudaya agar kerja sama menasihati mereka yang tidak pernah belajar, dan kaum cendekiawan agar mau mengembangkan ilmunya pada para jiran.4 Penekanan diberikan pada setiap yang memiliki keahlian karya tulis di mana dalam sebuah hadith ditegaskan agar mengambil peran laksana seorang ayah pada anak.

Nabi adalah pelopor pendidikan gratis di mana saat `Ubada b. as-Samit menerima hadiah dari seorang pelajar (dengan niatan untuk kepentingan Islam), Nabi Muhammad menegurnya, "Jika mau menerima lilitan api neraka di leher anda, maka ambilah hadiah itu."

Non-Muslim pun juga diberi tugas mengajar membaca di masa kehidup­an rasul. Uang tebusan tahanan Perang Badar juga berlainan. Beberapa di antara mereka mendapat tugas mengajar menulis pada anak-anak.

1. Hadiah Belajar, Mengajar, dan Membaca Al-Qur'an.
a. Nabi Muhammad tidak pernah menyia-nyiakan upaya dan keinginan masyarakat dalam mempelajari Kalamullah:
b. 'Uthman bin 'Affan melaporkan bahwa Nabi Muhammad pernah ber­sabda, "Yang terbaik di antara kamu sekalian ada]ah yang mempelajari Al-Qur'an kemudian mengajarkan pada orang lain."
c. Kata-kata yang sama juga dilaporkan oleh `Ali bin Abi.Talib.
Menurut Ibn Mas'ud Nabi Muhammad memberi komentar, "Siapa yang membaca satu huruf Kitab Allah la akan diberi imbalan amal saleh, dan satu amal saleh akan mendapat pahala sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif lam mim sebagai satu huruf melainkan alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf."

Di antara pahala seketika bagi yang mempelajari Al-Qur'an adalah peng­hargaan umat Islam agar bertindak sebagai imam shalat, suatu kedudukan penting yang secara khas diberikan di awal permulaan Islam. 'A'isha clan Abu Mas'ud al-Ansari melaporkan sabda Nabi.

Muhammad, "Seorang yang be]ajar yang memiliki hafalan terbanyak hendaknya menjadi imam sha]at.11 Amir bin Salima al-Jarmi bercerita bahwa orang-orang dari suku bangsanya menemui Nabi Muhammad menyatakan diri hendak masuk Islam. Sebelum berangkat mereka bertanya, "Siapa yang akan mengimami shalat kita?" Beliau menjawab, "Orang yang menghafal Qur'an, atau mempelajarinya lebih banyak."12 Pada detik-detik akhir kehidupan Rasulullah, kedudukan imam shalat diberikan pada Abu Bakr setiap hari. Hal ini merupakan agung saat penentuan khalifah umat Islam.

Segi positif lainnya adalah penyebab kemungkinan para Malaikat ber­sama kita. Usaid bin Hudair sedang membaca Al-Qur'an bagian terakhir di satu malam di mana seekor kudanya melompat-lompat ketakutan. Saat ia berhenti, seekor kuda All pun terdiam, dan saat membaca, kuda itu me­lompat-lompat kembali. Kemudian ia berhenti karena khawatir anaknya terinjak. Saat ia berdiri dekat kuda, ia melihat sesuatu seperti tenda meng­gantung di awang-awang penuh lampu-lampu bersinar menjulang ke langit dan kemudian menghilang. Hari berikutnya, la pergi menemui Nabi Muhammad menceritakan kejadian malam itu. la memberitahukan agar terus-menerus membacanya dan Usaid bin Hudair menjawab bahwa ia berhenti karena demi keselamatan anaknya, Yahya. Kemudian Nabi Muhammad berkata, 'Mereka adalah para Malaikat sedang mendengar dan mestinya anda terus membacanya, sebenarnya orang lain bisa melihat di pagi hari karena tidak akan bersembunyi dari mereka.".

Ibn ‘Umar meriwayatkan, "Kecemburuan hanya dibenarkan dalam dua hal: seorang yang telah menerima ilmu Al-Qur an dan membacanya di siang dan malam hari dan orang yang diberi karunia kekayaan Allah serta membantu orang lain di malam dan siang hari.

Setelah nabi Muhammad saw wafat dan islam berkembang secara luas dan diterima oleh bangsa diluar arab maka situasi berubah. Sumber pengajaran pada masa itu adalah para sahabat, mereka bertanggung jawab mengajarkan al-qur,an memberikan penjelasan dan pengertian yang terkandung dalam al-qur,an agar dimengerti oleh orang orang yang baru masuk islam. Mereka bertanggung jawab memberikan contoh tentang cara mempraktekkan al-qur,an dalam kehidupan sehari hari.

Problema pertama yng dihadapi para sahabat dalam pengajaran al-qur’an adalh menyangkut al-qur’an itu sendiripada masaitu. Al-qur’an secara lengkap dan sempurna telah ada dalam hafalan umumnya para sahabat, tetapi tidak semua sahabat hafal sepernuhnya al-qur’an.disamping itu al-qur’an masih dalam bentuk tulisan tulisan yang berserakan ,yaitu yang ditulis oleh para sahabat yang pandai menulis atas perintah nabi muhamad saw selama proses penurunan al-qur’an. Jadi belum merupakan mushaf yang kita lihat sekarang.

Sementara itu dengan meninggalnya sebagian sahabat yang hafal al-qur’an berarti semakin berkuranglah nara sumber, khawatir akan hal tersebut umar bin khattab lalu membicarakanya dengan kholifah abu bakar.

Dalam usaha mengumpulkan ayat ayat al-qur’an tersebut, zaid bin sabit bekerja sangat hati dan teliti, walaupun ia hafal sepenuhnya ayat al-qur’an tetapi ia masih memandang perlu untuk mencocokkan kembali hafalanya dengan sahabat lain. Dalam hal ini di bantu oleh sahabat lainya yang hafal yaitu ubay bin kaab, ali bin abi thalib dan ustman bin affan. Setelah terkumpul seluruh ayat al-qur’an dan disusun menurut susunan dan urutan yang ada dalam hafalan mereka, kemudian dituliskan jkembali dalam lembaran yang seragam dan diikat menjadi satu mushaf, inilah mushaf pertama dan demikian sempurnalah al-qur,an dalam bentuk bacaan atau hafalan.

Pengajaran al-qur’an kepada yang baru masuk islam dengan hafalan sahabat yang mengajar membacakan al-qur’an membacakan ayat al-qur’an kemudian dihafal oleh mereka yang belajar. Problema yang muncul dalam pengajaran al-qur’an adalah masalah pembacaan (qiroat) . al-qur’qn adalah bacaan dalam bahasa arab, jadi mereka yang tidak bisa bahasa arab harus menyesuaikan lidahnya dengan lidah orang arab, hal ini memerlukan proses dan waktu, menuntut ketekunan dan kesabaran dari para sahabat dan para pengajar, oleh karena itu pengajaranya selalu dibarengi dengan pengajaran bahasa arab secara sederhana.

Problema qiraat tersebut Nampak setelah terjadi komunikasi antara kaummuslimin satu daerah dengan daerah lainya, para sahabat mengajarkan al-qur’an menurut bacaan dengan dialek (lahjah) masing masing. Penggunaan lahjah yang berbeda beda itu tidaklah menjadi masalah selama masih dalam lingkungan kaum muslimin yang berbahasa arab.Dan rasul allah pun memperkenalkan hal yang demikian. Tetapi setelah al qur’an diterima dan dihafal oleh kaum muslimin yang tidak berbahasa arab maka kaum muslimin dari satu daerah yang diajar denga satu dialek, akan merasa asing dengan bahasa itu, yang tentunya akan membingungkan mereka. Apalagi timbul anggapan bahwa bacaan mereka yang benar sedangkan lainya salah, mereka pun berselisih dalam pembacaan al-qur’an dan salinhg mempertahankan kebenaran masing masing. Hal ini disadari pada masa kholifah usman bin affan.

Sahabat yang memperhatikan adanya pertikaian umat islam dalam hal pembacaan al-qur’an adalah huzaifah bin yaman sewaktu ikut dalam pertempuran di Armenia dan azerbeijan. Selama dalam perjalananya ia mendengar pertikaian antara kaum muslimin tentang bacaan al-qur’an dan saling mempertahankan kebenaran bacaan masing masing. Setelah kembali ke madinah ia segera melapor khalifah usman bin affan dan mengusulkan untuk segera mengatasi perselisihan tersebut. Khalifah usman bin affan meminjam naskah atu lembaran yang ditulis pada zaman abu bakar yang pada waktu itu disimpan oleh hafsah binti umar untuk ditulis kembali. Panitia diketuai oleh zaid bin tsabit ( penulis mushaf pada masa abu bakar juga penulis al-qur’an pada masa nabi Muhammad) dengan anggota: Abdullah bin zubair bin ash dan Abdurrahman bin haris. Dalam menuliskan kembali al-qur’an tersebut, usman menasihatkan panitioa untuk : (1) mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-qur’an (2) kalau ada pertikaian antara mereka tentang bacaan tersebut maka haruslah ditulis menurut dialek suku quraisyi’ sebab al-qur’an itu diturunkan menurut dialek mereka, Al-quran yang dibukukan dinamakan mushaf dan oleh panitia dibuat 5 buah mushaf, kemudian oleh khalifah masing masing ke syiria, basrah dan kufah, sedang yang satu tetap dipegang khalifah sendiri di madinah, khalifah usman memerintahkan agar catatan yang ada sebelumnya dibakar dan supaya umat islam berpegang kepada mushaf yang lima itu, baik dalam pembacaan dan penyalinan berikutnya.

Manfaat penulisan al-qur’an dimasa Usman adalah:
a. Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisanya.
b. Menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada perbedaanya, namun harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf usman.
c. Menyatukan tertib susunan surat surat, menurut tertib urut sebagai yang kelihatan pada mushaf mushaf sekarang ini.

Untuk memudahkan pengajaran al-qur’an bagi kaum muslimin yang tidak berbahasa arab maka guru al-qur’an mengusahakan :
a) Mengembangkan cara membaca al-qur’an dengan baik kemudian menimbulkan ilmu tajwid al-qur’an.
b) Meneliti cara pembacaan al-qur’an yang telah berkembang pada masa itu, mana yang sah dan sesuai dan yang tidak sesuai. Hal ini kemudian menimbulkan adanya ilmu qiraaat yang disebut qiraat al sab’ah.
c) Memberikan tanda tanda baca dalam tulisan mushaf, sehingga mempermudah membacanya.
d) Memberikan penjelasan tentang maksud dan pengertian yang dikandung ayat al-qur’an yang diajarkan kemudian berkembang menjadi ilmu tafsir. 

B. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN ISLAM
Sejak Nabi Muhammad menjadi Rosull sebagai tanda datangnya islam sampai islam yang berjalan sekitar 14 abad. Nabi muhammad melakukan pendidikan islam setelah diperintah oleh Allah, pada saat itu adalah masa awal pendidikan islam yang tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara dan baru muncul pada masa belakangan yakni dengan kebangkitan madrasah. Pendidikan islam pada masa awal merupakan salah satu bidang kebudayaan islam yang belum banyak diketahui sampai sekarang. Permulaan pendidikan islam bisa ditemukan di Makkah. Nabi Muhammad dapat dikatakan pengajar atau pendidik muslim pertama (mua’llim) memang berdasarkan perintah Allah untuk membuka pintu gerbang pengetahuan bagi manusia.

Pada masa ini pendidikan islam diartikan pembudayaaan ajaran islam yaitu memasukan ajaran-ajaran islam dan menjadikanya sebagi unsur budaya Arab dan menyatu ke dalamnya. Dengan pembudayaan ajaran Islam kedalam sistem dan lingkungan budaya bangsa Arab tersebut, maka tebentuklah sistem budaya Islam dalam lingkungan budaya bangsa Arab dalam proses pembudayaan ajaran Islam kedalam lingkungan budaya bangsa Arab berlangsung beberapa cara. Adakalnya Islam mendatangkan sesuatu ajaran bersifat memperkaya dan melengkapi unsur yang telah ada dengan menambahkan budaya yang baru. Dan ada kalanya menentang sama sekali dengan budaya sebelumnya yang sudah menjadi adat istiadat.

Sebagai mana telah dikemukakan bahwa akibat adalah mewariskan nilai budaya kepada generasi muda dan mengembangkannya. Oleh karenanya pendidikan islam pada hakikatnya adalah mewariskan nilai buadaya islam kepada generasi muda dan mengmbangkannya oleh karenanya pendidikan islam pada hakikatnya adalah mewariskan nilai budaya islam kepada generasi muda dan mengembangkanya sehingga mencapai dan memberikan manfa’at maksimal bagi hgidup dan kehidupan manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Kalau masa nabi Muhammad SAW dianggap sebagai masa penyemaian nilai kebudayaan islam kedalam system budaya bangsa arab pada masa itu, dengan meluasnyaajaran islam dipeluk oleh bangsa-bangsa diluar bangsa arab yang mempunyai system budaya yang berbeda-beda, maka masa pendidikan masa ini, berarti penamaan secara luas nilai dari kebudayaan isalm agar tumbuh dengan suburnya dalam lingkungan yang lebih luas.

Masyarakat yang diluar bangsa arab yang menerima islam, pada umumnya telah hidup dalam suatu system budayayang telah berkembang, melebihi perkembangan system budaya bangsa arab pada masa turunya bangsa islam. Dengan demikian islam menghadapi unsure-unsur budaya baru yang berbeda dengan budaya-budaya bangsa arab yang pernah di hadapinya. Daerah-daerah mesir, Syria Persia, samarkand dan India yang dikuasai oleh umat muslimin pada masa itu adalah merupakan pusat-pusat kebudayaan yang terkenal maju. Mendapat tantangan dari unsure-unsur kebudayaan setempat yang telah berkembang tersebut, maka tumbuh dan berkembang pula kebudayaan islam yang didasari oleh ajaran islam.

Islam adalah agama fitrah, agama yang berdasarkan potensi dasr manusia dengan petunjuk allah. Pendidikanisalam berarti menumbuhkan dan mengembangkan potensi fitrah tersebut, dan mewujudkanyadalam system budaya manusiawi yang islami. Oleh karena itu, wajarlah kalu islam menerima sebagian dari unsure-unsur budaya manusiawi yang telah berkembang tersebut sepenjang bisa diarahkan dan diwarnai sebagai budaya yang islami. Adapun bidaya manusia yang telah berkembang tersebut yang menyimpang dari potensi fitrah manusiwi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip budaya islam. Islam menolaknya dan menggantinya dengan budaya baru yang islami.

Dengan demikian, pada masa pertumbuhan kebudayaan Islam ini, sebenarnya terjadi dialog yang seru antara prisip-prinsip budaya Islami sebagai mana yang terkandung dalam Al-Qur’an dengan budaya manusiawi yang telah berkembang pada masa itu. Dialog itu menampakkan perbedaan pemikiran karena makin bertambahnya pemeluk agama Islam. Bentuk kongkritnya adalah tumbuhnya berbagai aliran dan mazhab dalam berbagai aspek budaya Islami.

Masalah yang pertama-tama dihadapi oleh para sahabat begitu Rasulullah wafat, adalah masalah siapa dan bagaimana pengganti menggantikanya. Karena beliau tidak memberikan petunjuk dalam hal ini. Namun kemudian berdasarkan hasil musyawarah para shabat denganjalan bai’at kaum muslimin pada waktu itu kepada Abu Bakar.

Pada garis besarnya pemikiran Islam dalam pertumbuhanya muncul dalam 3 pola, yaitu:
a) Pola pemikiran yang bersifat skolastik yangterikat pada dogma-dogma dsan berpikir dalam rangka mencari pebenran terhadap dogma-dogma agama. Mereka terikat pada wahyu / ayat-ayat al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi Muahammad SAW. Menurut pola piker ini kebenaran yang sesungguhnya hanya diperoleh manusia denganperntara wahyu, sedangakan akal hanya berfungsi sebagai penerima saja. Akal harus tunduk kepada wahyu.
b) Pola perikiran yangbersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran. Pola piker ini mengganggap bahwa akal pikiran, sebagaimana juga halnya dengan wahyu adalah merupakan sumber kebenaran. Akal bisa mencapai kebenaran walaupun tanpa wahyu. Mereka menggunakan akal pikiran unutk mencari kebenaran dan kemudian wahyu berfungsi sebagai penunjang kebenaran yang diperoleh akal, dan mereka berpandangan kebeneran wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan.
c) Pola pemikiran yang bersifat batiniyah dan intuitif, yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufitis. Kebenaran yang sesungguhnya dan yang tertinggi adalah kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman- pengalaman batin dalam kehidupan yang mistis dan dengan jalan berkontemplasi. Menurut pola piker ini, seorang yang akan mencari kebenaran harus melalui tangga-tangga , yaitu dari tangga terbawah yaitu syari’at, kemudian tarikat, hakikat, untuk sampe ke tanggayang tertinggi disebut ma’rifat. Pada tingkat ma’rifat seseoarang memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Pola ini dalam dunia Islam, pada mulanya dikembangkan oleh golongan ahli sufi,. Kemudia setelah Imam Al-Gazali, diterima oleh umat Islam secara umum.

Perkembangan ilmu paling pesat dalam Islam terjadi ketika kaum muslimin bertemu dengan kebudayaan dan peradaban yang telah maju dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Perkembang­an tersebut semakin jelas sejak permulaan kekuasaan Bani Abbas pada pertengahan abad ke-8. Pemindahan ibukota Damsyik (Damascus) yang terletak di lingkungan Arab ke Baghdad yang berada di lingkungan Persia yang telah memiliki budaya keilmuan yang tinggi dan sudah mengenal ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, menjadi alat picu semaraknya semangat keilmuan yang telah dimiliki oleh kaum muslimin.

Pada masa ini umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan baik aqli ( rasional ) maupun yang naqli mengalami kemajuan dengan sangat pesat. Proses pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai buku karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa yunani, romawi, dan persia, serta berbagai sumber naskah yang ada di timur tengah dan afrika, seperti mesopotamia dan mesir.

Cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sejak zaman Nabi Muhmmad SAW sampai sekarang. Pendidikan Islam mulai dilaksanakan Rasulullah setelah mendapat perintah dari Allah melalui firmannya QS. 74 : 1-7, langkah awal yang ditempuh oleh Nabi adalah menyeru keluarganya, sahabat-sahabanya, tetangga dan masyarakat luas.

Pada masa Nabi, Negara Islam meliputi seluruh jazirah Arab dan pendidikan Islam berpusat di Madinah, setelah Rasulullah wafat kekuasaan pemerintahan Islam dipegang oleh Khulafaurrasyidin dan wilayah Islam telah meluas di luar jazirah Arab. Para khalifah ini memusatkan perhatiannya kepada pendidikan, syiarnya agama dan kokohnya Negara Islam.

PENUTUP
Sejarah tidak selalu bersahabat dengan Kitab suci. Injil asli Nabi ‘Isa (Jesus), sebagaimana akan kita lihat kemudian, telah lenyap sejak awal dan diganti dengan karya penulis yang tidak memiliki hubungan keilmuan dengan sumber pertama; demikian pula dengan kitab perjanjian lama yang telah mengalami penderitaan begitu kronik karena tidak adanya perhatian. Hal itu sama sekali bertentangan dengan kitab Al-Qur'an yang diberkahi dengan penyebaran yang begitu cepat ke seluruh Jazirah Arab sejak kehidupan Nabi Muhammad, yang disebarkan oleh para sahabat yang secara langsung men­dapat pengajaran dari Nabi Muhammad sendiri. Adanya para huffaz memberi saksi atas kesuksesan dalam hal ini.

Pada garis besarnya pemikiran Islam dalam pertumbuhanya muncul dalam 3 pola, yaitu;
a. Pola pemikiran yang bersifat skolastik yangterikat pada dogma-dogma dsan berpikir dalam rangka mencari pebenran terhadap dogma-dogma agama. Mereka terikat pada wahyu / ayat-ayat al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi Muahammad SAW.
b. Pola perikiran yangbersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran.
c. Pola pemikiran yang bersifat batiniyah dan intuitif, yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufitis. Kebenaran yang sesungguhnya dan yang tertinggi adalah kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman- pengalaman batin dalam kehidupan yang mistis dan dengan jalan berkontemplasi.


DAFTAR PUSTAKA
http://www.joomla.org/
Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Departemen Agama direktorat jenderal kelembagaan islam. Jakarta: 2005
Sejarah Pendidikan Islam; Dra. Zuharini, dkk; PT. Bumi Aksara; 2008; jakarta;
Join Multiply to get updates from eN Ge Be
http://digilib.sunan-ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=sbunbsk-gdl-mhddalpen-

MASA KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM


A.    Sistem Pendidikan Di Sekolah-Sekolah
Sebenarya timbulnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia islam, adalah merupakan pengembangan semata-mata dari sistem pengajaran yang telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi dengan sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran didalamnya.
Diantara faktor-faktor yang menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah di luar masjid adalah bahwa:
1.      Khalaqah-khalaqah (lingkaran) untuk mengajarkan berbagai ilmu prengetahuan yang didalamnya juga terjadi diskusi dan pendebatan yang ramai, sering satu sama lain saling mengganggu, disamping sering pula mengganggu orang-orang beribadah dalam masjid.
2.      Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan ,baik mengenai agama maupun umum yang diperlukan semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran-lingkaran pengajaran) yang tidak mungkin keseluruhan tertampung di ruangan masjid.
Faktor-faktor yang mendorong penguasa dan pemegang pemerintahan pada masa itu utuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai bangunan-bangunan yang terpisah dari masjid. Antara lain:
1.      Pada masa Turki mulai berpengaruh dalam memerintahan Bani Abbasiyah ,dan untuk mempertahankan kedudukan mereka dalam pemerintahan, mereka berusaha untuk menarik hati kaum muslimin pada umumnya, dengan jalan memperhatikan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat umum.
2.      Mereka mendirikan sekolah-sekolah tersebut ,di samping dengan harapan untuk mendapatkan simpati dari rakyat umumnya, juga beharap mendapatkan ampunan dan  pahala dari Tuhan.
3.      Kekhawatiran mereka kalau nantinya kekayaan tersebut tidak bisa diwariskan kepada anak-anaknya karena diambil sutan.
4.      Usaha untuk mempertahankan dan mengembangkan aliran keagamaan dari pembesar negara yang bersangkutan.
Dengan berdirinya sekolah-sekolah tersebut, lengkaplah lembaga pendidikan Islam yang bersifat formal, mulai dari tingkat dasar yaitu kuttab sampai tingkat menengah dan tingkat tinggi. Lembaga pendidikan ini beum mempunyai kurikulum yang seragam, tetapi masih bervariasi antara madrasah yang satu dengan lainnya. Hal ini sangat tergantung kepada keahlian guru-gurunya, pandangan tentang kepentingan suatu ilmu pengetahuan ,dan berhubungan pula dengan perhartian dari pada pembesar pendiri sekolah-sekolah atau madrasah yang bersangkutan.
Mahmud Yunus, secara garis besar menggambarkan pokok-pokok rencana pelajaran pada berbagai tingkatan pendidikan tersebut sebagai berikut:
1.      Rencana pelajaran kuttab (pendidikan dasar):
a.       Membaca Al-Quran dan menghafalnya
b.      Pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, salat, puasa dan sebagainya
c.       Menulis
d.      Kisah atau riwayat orang-orang besar Islam
e.       Membaca dan menghafal syair-syair atau nasar (prosa)
f.        Berhitung
g.      Pokok-pokok nahwu dan saraf ala kadarnya
2.      Rencana pelajaran tingkat menengah:
a.       Al-Quran
b.      Bahasa Arab dan kesustraanya
c.       Fiqh
d.      Tafsir
e.       Hadis
f.        Nahwu/saraf/balagah
g.      Ilmu-ilmu pasti
h.      Mantiq
i.        Ilmu Falak
j.        Tarikh (sejarah)
k.      Ilmu-ilmu Alam
l.        Kedokteran
m.    Musik

3.      Rencana pelajaran pada pendidikan tinggi
Pada umumnya rencana pelajaran pada perguruan tinggi Islam, dibagi menjadi dua jurusan, yaitu:
a.       Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa serta sastra Arab, yang juga disebut sebagai ilmu-ilmu Naqiyah, yang meliputi :
1)      Tafsir Al-Quran
2)      Hadis
3)      Fiqh dan ushul Fiqh
4)      Nahwu/saraf
5)      Balagah
6)      Bahasa Arab dan Kesusastraannya
b.      Jurusan ilmu-ilmu umum, yang disebut sebagai ilmu Aqliyah meliputi :
1)      Mantiq
2)      Ilmu-ilmu alam dan kimia
3)      Musik
4)      Ilmu-ilmu pasti
5)      Ilmu ukur
6)      Ilmu falak
7)      Ilmu Hahiyah (Ketuhanan)
8)      Ilmu Hewan
9)      Ilmu Tumbuh-tumbuhan
10)  Kedokteran

B.     Puncak Kemajuan Ilmu Dan Kebudayaan Islam
Puncak kemajuan ilmu dan kebudayaan islam terjadi pada masa daulah bani abbasiyah, kemajuan dari segala bidang yang sekarang berpindah tangan ke barat dan dengan berbagai upaya barat tetap untuk mempertahankanya, sebab dibalik kemajuan tersebut terdapat kekuasaan dalam segala bidang ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Kemajuan peradapan Abbasiyah sebagianya disebabkan oleh stabilitas politik dan kemamakmuran ekonomi kerajaan tersebut.
Masyarakat islam pada massa daulah bani Abbasiya, mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat karena yang dipengaruhi oleh faktor-faktor:

1.      Faktor politik
Pindahnya ibu kota Negara dari syam ke irak dan bagdad sebagai ibu kotanya. Bagdad pada waktu itu merupakan kota yang paling tinggi kebudayaanya dan lebih dulu mencapai tingkat ilmu pengetahuan.
2.      Faktor Sosiografi
Meningkatnya kemakmuran umat islam pada waktu itu kerna luasnya kekuasaan islamyang menyababkan banyak orang Persia dan romawi yang masuk islam kemudian menjadi muslim yang taat
3.      Aktifitas Ilmiah
Ada beberapa aktifitas ilmiah yang berlangsung dikalangan umat islam pada masa daulah bani abbasiyahyang dapat mengantarkan mereka mencapai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan seperti penyusunan buku-buku ilmiah hadist, tafsir, fiqh dan lain-lain kemudian penerjemah merupakan aktivitas yang paling besar perananya dalam mentranfer ilmu pengetahuan.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam adalah sebagai akibat dari perpadunya ungsur-ungsur pembawaan ajaran islam dengan unsur-unsur yang berasal dari luar. Dalam bidang filsafat ketuhanan, atau Teologi, berkembang ilmu kalam, denganberbagai macam pola pemikiranya. Dari pola pemikiran  tradisional yang bersifat skolastik, yang mengembangkan paham jabariyah kemudian disempurnakan oleh asyiariyah sampai kepada mereka yang menamakan dirinya ahlusunah waljamaah.
Berlawanan dengan pemikiran yang rasional, dengan bertolak dari pandangan kodariyah sebagaimana yang dikembangkan oleh aliran mu’ tazilah yang kemudian di kembangkan oleh filosof-filosof islam. Ada pula yanga nencoba menggabungkan antara aliran pemikiran tradisional dengan pemikiran rasionalsebagaiman yang nampak pada aliran maturidiyah.
Pemikiran tersebut selalu berusaha untuk saling berebut pengaruh dan mendapatkan dukungan dari pemerintah sehingga pemikiran tersebut mampu mengalahkan pengaruh aliran yang mulanay berkembang. Demikianlah aliran yang mendapat dukungan dari para pengusaha. Sehingga aliran-aliran tersebut Nampak sebagai kekayaan budaya spiritual islam yang beraneka ragam.
Filsafat alamiah yang pada mulanya berasaldari luar islam, mendapatkan tempat dalam dunia islam, karena memang ajaran Al-Quran itu sendiri mendorong sepenuhnya pemikiran-pemikiran filosofis terhadap alam semesta. Kemudian kaum muslim mengembangkan lebih jauh mengadakan penelitian dan observasi lebih langsung. Hasilnya berbagai macam ilmu-ilmu alamiah seperti fisika, biologi, kedokteran, astronomi dan lain sebagainya.
Henry Margenan dan David Bergamini dalam The Scientish sebagaimana diolah oleh Jujun S. Suriasumantri, telah mendaftar sederetan cabang ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan sebagai haisl perkembangan pemikiran dan ilmiah di kalangan kaum muslimin pada masa jayanya, Yang kemudian secara berangsur-angsur berpindah ke dunia Barat, sebagai berikut:
1.      Dalam bidang matematika, telah dikembangkan oleh para sarjana muslim berbagai cabang ilmu Pengetahuan, Seperti Teori Bilangan, Al-jabar, Geometri Analit, dan Trigonometri.
2.      Dalam bidang Fisika, mereka telah berhasil mengembangkan Ilmu Mekanika dan Optika.
3.      Dalam kimia, telah berkembang ilmu Kimia.
4.      Dalam bidang Astronomi, kaum muslimin telah memiliki Ilmu Mekanika Benda-benda langit.
5.      Dalam bidang geologi, para ahli ilmu pengetahuan muslim telah mengembangkan Geodesi, Minerologi, dan meteorologi.
6.      Dalam bidang Biologi, mereka telah memiliki ilmu-ilmu Phisiologi, Anatomi, Botani, Zoologi, Embriologi dan Pathologi.
7.      Dalam bidang sosial, telah pula berkembang Ilmu politik.
Dalam bidang kebudayaan pada umumnya islam telah mempersembahkan pada dunia, suatu tingkat budaya tinggi yang marcusuar budaya umat manusia beberapa abad sesudahnya. Dalam bidang arsitektur sangat menonjol bangunan-bangunan masjid dan istana-istana yang indah. Dalam seni ukiran dan sulaman Nampak dalam bentuk keindahan ukiran kayu dan marmar yang digunakan dalam berbagai banganan-bangunan masjid dan istana-istana, dalam bentuk permadani serta barang-barang tenunan yang indah yang terkenal pada saat itu. Seni music dan seni lukis apalagi seni sastranya, dunia islam dihiasi denga serba keindahan yang mempesona pada masanya.

BAB III
PENUTUP

Dari beberapa uraian diatas dapat di simpulkan bahwa masa kejayaan pendidikan Islam ini dimulai dengan berkembang pesatnya kebudayaan Islam, yang ditandai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah (sekolah-skolah) formal serta unversitas dalam berbagai pusat kebudayaan Islam, dan penjelasan tentang sistem pendidikan di sekolah-sekolah, serta penjelasan tentang puncak kemajuan ilmu dan kebudayaan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Zuhairini, dkk, 1992, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara Bekerjasama Dengan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.
H. Haman A. Malik, Gusnam Haris, Rofik, 2005. Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
http://soegiartho.cybermq.com/post/detail/9923/masa-kejayaan-kemunduran-dan-pembaharuan-pendidikan-islam.

MASA KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Gejala-gejala Kemunduran
M. M Sharif, sebagaimana di kutip oleh Zuhairini, menjelaskan bahwa gejala kemunduran pendidikan Islam mulai tampak setelah abad ke-13 M. Yang ditandai dengan terus melemahnya pemikiran Islam sampai abad ke-18 M. Secara kuantitas, pendidikan Islam menunjukkan perkembangan yang baik. Madrasah telah diperkenalkan dan didirikan di beberapa wilayah Islam. Keterlibatan langsung penguasa terhadap pendidikan, memacu makin berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan.
Penguasa Dinasti Ayyubiyah, Mamluk, Usmani dan sebagainya terus memperbanyak bangunan madrasah-madrasah. Kontrol negara yang kuat terhadap sistem madrasah, membuat masyarakat Islam mengarahkan kegiatan pendidikan formal di madrasah-madrasah. Bahkan dari segi pengorganisasian, sistem madrasah mencapai puncak perkembangannya pada masa kerajaan Usmani, dimana sistem tersebut dilembagakan secara sistematis, dipelihara, dan ditunjang oleh pejabat “Syaikh al-Islam” dengan kecakapan dan efisiensi administrasi yang tinggi.
M. M Sharif dalam bukunya Muslim Thought, mengungkapkan bahwa gejala kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam tersebut sebagai berikut : ”.....telah kita saksikan bahwa pikiran Islam telah melaksanakan satu kemajuan yang hebat dalam jangka waktu yang terletak di antara abad ke VIII dan abad ke XIII M ... kemudian kita memperhatikan hasil-hasil yang diberikan kaum muslimin kepada Eropa, sebagai satu perbekalan yang matang untuk menjadi dasar pokok dalam mengadakan pembangkitan Eropa (renaissence)”.
Selanjutnya M. M Sharif dalam bukunya Muslim Thought menggungkapkan bahwa, yang mengakibatkan melemahnya pikiran Islam yang menjadikan kemunduran pendidikan Islam tersebut, antara lain sebagai berikut :
1. Telah berkelebihan filsafat Islam (yang bercorak sufistis) yang dimasukkan oleh Al-Ghazali dalam alam Islami di Timur, dengan filsafat Islamnya menuju ke arah bidang rohaniah hingga menghilang ia ke dalam mega alam tasawuf. Berkelebihan pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia Islam di Barat, dengan filsafatnya menuju ke arah yang bertentangan dengan Al-Ghazali yakni menuju ke jurang materialisme. Al-Ghazali mendapat sukses di Timur, hingga pendapat-pendapatnya merupakan satu aliran yang terpenting, Ibnu Rusyd mendapat sukses di Barat hingga pikiran-pikirannya menjadi pimpinan yang penting bagi alam pikiran Barat.
2. Umat Islam, terutama para pemerintahnya (khalifah, sultan, amir-amir) melainkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan tidak memberi kesempatan untuk berkembang. Kalau pada mulanya para pejabat pemerintahan sangat memerhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu pengetahuan, maka pada masa menurun dan melemahnya kehidupan umat Islam, para ilmu pengetahuan pada umumnya terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan, sehingga melupakan ilmu pengetahuan.
3. Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam. Sementara itu obor pikiran Islam berpindah tangan ke tangan Masehi, yang mereka ini telah mengikuti jejak kaum muslimin yang menggunakan hasil buah pikiran yang mereka capai dari pikiran Islam itu.

Ketidakmampuan intelektual tersebut, merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan ajaran yang menyatakan bahwa dunia adalah penjara bagi kaum muslimin sudah populer di tengah-tengah masyarakat Islam. Terjadilah kebekuan intelektual secara total.
Dalam hal ini Fazlur Rahman, dalam bukunya Islam, menjelaskan tentang gejala-gejala kemunduran intelektual Islam adalah sebagai berikut :
Penutupan pintu ijtihad (yakni, pemikiran yang orisinal dan bebas) selama abad ke-4 H/10 Mdan 5 H/11 M telah membawa kepada kemacetan umum dalam ilmu hukum dan ilmu intelektual. Ilmu-ilmu intelektual, yakni teologi dan pemikiran keagamaan, sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang disengaja dari intelektualisme sekuler dan juga pengucilannya dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme.

Sufisme telah berkembang dari sebuah pencarian yang mengisolasikan individu kaum asketik menjadi sebuah gerakan keagamaan. Dengan memadukan penahanan diri (zuhud) kaum asketik, dengan perkembangan spiritual yang mengarah kepada kesatuan Tuhan, sufisme manjadi tersebar luas di dalam konsep metafisika dan filsufis tentang keberadaan Tuhan, dan sebuah doktrin pemujaan dan sifat kemukjizatan seorang wali. Pada saat yang sama sufisme mulai mengembangkan benih-benih organisasi sosial dan juga mengembangkan sebuah misi kemasyarakatan.

B. Faktor-Faktor Penyebab Kemunduran
Kehancuran dan kemunduran-kemunduran yang dialami oleh umat Islam, terutama dalam bidang kehidupan intelektual dan material ini, dan beralihnya secara drastis pusat-pusat kebudayaan dari dunia Islam ke Eropa, menimbulkan rasa lemah dari dan putus asa di kalangan masyarakat kaum muslim. Ini telah menyebabkan mereka lalu mencari pegangan dan sandaran hidup yang bisa mengarahkan kehidupan mereka. Aliran tradisionalisme dalam Islam mendapat tempat di hati masyarakat secara meluas, dengan mengembalikan segala sesuatunya yang telah dikehendaki oleh Tuhan.
Sebab-sebab kemacetan pemikiran dan kemunduran umat Islam adalah lenyapnya metode berpikir rasional, yang pernah dikembangkan oleh Mu’tazilah. Pemikiran Mu’tazilah, yang telah menimbulkan peristiwa “mihnah”, telah mengundang antipati umat Islam bukan saja terhadap aliran Mu’tazilah, tetapi juga terhadap metode berfikir rasional. Sejak saat itu, masyarakat tidak mau mendalami ilmu-ilmu sains dan filosofis. Pemikiran logis dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya berfikir masyarakat Muslim sampai akhirnya pola berfikir mereka didominasi oleh superstisi, tahayyul, dan kejumudan.
Lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, termasuk ilmu pengetahuan. Rasionalisme pun kehilangan peranannya, dalam arti semakin dijauhi. Kedudukan akal semakin surut. Dengan dicurigainya pemikiran rasional, daya penalaran umat Islam mengalami kebekuan sehingga pemikiran kritis, penelitian, dan ijtihad tidak lagi dikembangkan. Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya intelektualisme yang mengagumkan. Mereka lebih senang mengikuti pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dari pada berusaha melakukan penemuan-penemuan baru. Keterpesonaan terhadap buah pikiran masa lampau, membuat umat Islam merasa cukup dengan apa yang sudah ada. Mereka tidak mau berusaha lebih keras lagi untuk memunculkan gagasan-gagasan keagamaan yang cemerlang. Usaha yang mereka tempuh hanyalah sebatas pemberian syarah atau ta’liqah pada kritik-kritik ulama terdahulu yang bertujuan memudahkan pembaca untuk memahami kitab-kitab rujukan dengan menjelaskan kalimat-kalimat secara semantik; atau menambah penjelasan dengan mengutip ucapan-ucapan para ulama lain.
Dalam bidang fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taklid buta di kalangan umat. Dengan sikap hidup yang fatalistis tersebut, kehidupan mereka sangat statis, tidak ada problem-problem baru dalam bidang fikih. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab fikih lama dianggapnya sebagai sesuatu yang sudah baku, mantap dan benar, dan harus diikuti serta dilaksanakan sebagaimana adanya.
Kehidupan sufi berkembang dengan pesat. Keadaan frustasi yang merata di kalangan umat, menyebabkan orang kembali kepada Tuhan (bukan hanya sekedar dalam sikap hidup yang fatalistis), dalam arti yang sebenarnya, bersatu dengan Tuhan, sebagaimana yang diajarkan oleh para ahli sufi. Madrasah-madrasah yang ada dan yang berkembang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan sufi. Madrasah-madrasah berkembang menjadi zawiat-zawiat untuk mengadakan riyadah di bawah bimbingan dan otoritas dari guru-guru sufi, yang selanjutnya dikembangkan untuk menuntun para murid yang dikenal selanjutnya dengan istilah tariqat.
Keadaan yang demikian, sebagaimana dilukiskan oleh FazlurRahman :
Di madrasah-madrasah yang bergabung pada khalaqoh-khalaqoh dan Zawiat-zawiat sufi, karya-karya sufi dimasukkan ke dalam kurikulum yang formal, kurikulum akademis terdiri dari hampir seluruh buku-buku tentang sufi.

Kemunduran pendidikan Islam pada masa-masa ini, terletak pada merosotnya mutu pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, tampak jelas dalam sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran pada umumnya madrasah-madrasah yang ada, di samping itu juga telah menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum dan terbatasnya ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni tinggal terdiri dari : Tafsir Al-Qur’an, hadist, fiqh (termasuk Ushul fiqh dan Prinsip-prinsip hukum), dan Ilmu Kalama tau Teologi Islam. Bahkan di madrasah-madrasah tertentu Ilmu Kalam pun dicurigai, dan di madrasah yang diurus oleh kaum sufi yang memang tersebar luas di negara-negara Islam pada masa itu ditambah dengan pendidikan sufi.
Materi pelajarannya sangat sederhana, yang ternyata dari jumlah total buku-buku yang harus dipelajari pada suatu tingkatan (bahkan tingkat tertinggi sekalipun) sangat sedikit. Kemudian waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan studi pun relatif singkat. Akibat lanjutnya adalah kurang mendalamnya materi pelajaran yang mereka terima, sehingga kemerosotan dan kemunduran ilmu pengetahuan para pelajarnya pun dapat dibayangkan.
Oleh karena itu, perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini dapat dikatakan macet total. Tidak ada buku-buku baru yang dihasilkan, pelajaran hanya memberikan komentar-komentar dari buku-buku dan bahkan komentar dari komentar. Dalam hal ini Fazlur Rahman, menjelaskan sebagai berikut :
Kebiasaan menulis komentar-komentar yang sistematis, pada mulanya, selalu disertai dengan penulisan karya-karya asli. Pada abad ke-6 H/12 M, misalnya Fakhrudin al-Razi menulis sebuah komentar atas Ibnu Sina, tetapi juga mengarang beberapa karya yang independen. Tetapi dikemudian hari berkembanglah kebiasaan untuk menulis komentar atas komentar, hingga karya yang asli yang menjadi subyek komentar tersebut hampir sama sekali terlupakan. Karya-karya tertentu mengenai teologi dogmatis tertimbun dalam lebih dari setengah lusin lapisan komentar. Komentar-komentar yang kemudian bahkan merosot menjadi catatan-catatan pinggir saja, dan biasanya menyangkut perbedaan-perbedaan pendapat yang superficial dan perbedaan-perbedaan verbal saja. Ini semua bersama dengan ringkasan-ringkasan yang singkat membentuk kurikulum madrasah.

Kebekuan intelektual dalam kehidupan kaum muslimin yang diwarnai dengan berkembangnya berbagai macam aliran sufi yang karena terlalu toleran terhadap ajaran mistik yang berasal dari agama lain (Hindu, Budha, maupun Neoplatonisme), telah memunculkan berbagai macam tariqat yang menyimpang jauh dari ajaran Islam. Tariqat-tariqat tersebut dalam perkembangannya dan dalam penerimaan masyarakat menjadi semacam agama populer (populer religion).

C. Usaha-usaha pemurnian agama Islam
Adipati terhadap Mu’tazilah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap kurikulum. Jatuhnya paham Mu’tazilah mengangkat posisi kaum konvervatif menjadi kuat. Untuk mengembalikan paham Ahlusunnah sekaligus memperkokohkannya, ulama-ulama melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan. Karena ulama dianggap sebagai kaum terpelajar dan memiliki otoritas keagamaan dan masalah Hukum Islam. Ulama-ulama ini menganut paham konservatif dan fundamental bahwa wahyu merupakan inti segala macam pengetahuan. Oleh karena itu, mereka hanya mengedepankan ilmu-ilmu keagamaan di lembaga pendidikan Islam.
Kondisi demikian diperburuk lagi oleh jatuhnya Kerajaan Abbasiyah oleh serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada masa pertengahan abad ke-13 M, ketika kota Bagdad sebagai pusat ilmu dan kebudayaan hancur sama sekali. Sekitar 800.000 penduduk Bagdad dibunuh. Perpustakaan dihancurkan, ribuan rumah penduduk diratakan. Dalam peristiwa tersebut, umat Islam kehilangan lembaga-lembaga pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat berharga nilainya bagi pendidikan Islam. Musnahnya beribu-ribu buku, baik buku-buku tentang keagamaan maupun ilmu-ilmu sains dan filsafat, mempengaruhi perkembangan intelektualisme Islam, apalagi yang menyangkut kelestarian ilmu-ilmu pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Ini salah satunya yang mempersulit umat Islam untuk mengembalikan kekayaan intelektual yang berharga seperti pada masa kejayaan semula.
Oleh karena itu, upaya pembaruan pendidikan Islam yang telah dilakukan para tokoh-tokoh, sesungguhnya lebih ditujukan kepada sasran pendidikan yang tentu disesuikan dengan ide pembaruan mereka. Misalnya, di Turki Usmani dengan pembaruanya Sultan Ahmad III, upaya pembaruan lebih banyak ditujukan pada: Pertama, pada pola pemikiran dan sikap yang tadinya anti Barat keproses kerja sama yang lebih intens dengan cara pengiriman duta-duta pelajar ke Eropa. Kedua, pendirian sekolah-sekolah modern, seperti sekolah teknik militer, dan Ketiga, pembentukan percetakan buku, hal ini dilakukan sebagai upaya mempermudah access informasi dari Barat.
Upaya pembaruan yang dilakukan Sultan Mahmud II lebih ditujukan pada :
1. Mencoba memasukan ilmu-ilmu umum ke sekolah-sekolah Islam (Madrasah).
2. Mendirikan sekolah pengetahuan umum dan model sekolah Barat. Kelihatanya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan Sultan Mahmud lebih mengarah pada perombakan model pendidikan yang menyangkut perubahan kurikilum dan metodologi.
Sama seperti halnya di Turki Usmani Muhammad Ali Pasya tokoh pembaharu mesir mencoba melakukan upaya pembaruan pendidikan Islam dengan cara mendirikan model sekolah Barat, seperti sekolah kedokteran, sekolah sastra, dan lain sebagainya. Bahkan guru-guru yang didatangkan untuk mengajar pun banyak yang didatangkan dari Eropa ini artinya, upaya pembaruan yang telah dilakukan Ali Pasya lebih banyak pada persoalan pembenahan model sistem pendidikan Islam termasuk di dalamnya persoalan kurikulum.
Dengan demikian, upaya pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan beberapa tokoh diatas sesungguhnya lebih banyak melakukan pembenahan sistem pendidikan Islam yang meliputi; perubahan model pengajaran, kurikulim pengajaran termasuk materi, dan juga sarana prasarana pendidikan Islam.

KESIMPULAN

Kemunduran pendidikan Islam sesungguhnya hanya karena akibat dari faktor-faktor kehancuran kekuasaan Islam (sosial, politik dan keagamaan) sebagaimana yang telah dibahas diatas, bahwa dengan jatuhnya pusat-pusat kekuasaan Islam menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan Islam dan kebudayaan Islam. Disamping itu juga sepanjang sejarahnya sejak awal dalam pemikiran Islam terlihat dua pola yang saling berlomba mengembangkan diri, dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan pola pendidikan umat Islam, yakni pola pemikiran yang bersifat tradisional, yang selalu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistis (pendidikan sufi), yang sangat memperhatikan aspek batiniyah. Sedangkan pola pemikiran yang rasional yang mementingkan akal pikiran, menimbulkan pola pendidikan empiris rasional, yang sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.
Pada masa jayanya pendidikan Islam, kedua pola tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi. Setelah pemikiran rasional diambil alih pengembangannhya oleh dunia Barat (Eropa) dan dunia Islam pun meninggalkan pola berfikir tersebut, maka dalam dunia Islam tinggal pola pemikiran sufistik, sehingga mengabaikan dan tidak menghasilkan perkembangan budaya Islam yang bersifat material. Dari aspek inilah pendidikan dan kebudayaan Islam mengalami kemunduran setidak-tidaknya dapat dikatakan pendidikan Islam mengalami kemandekan.


DAFTAR PUSTAKA

Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 2008.

Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam (menelusuri jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta : Prenada Media, 2007.

Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Wacana Ilmu, 1999

Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Prenada Media, 2005