Senin, 07 Juni 2010 | By: oyil-5225.blogspot.com

MASA KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Gejala-gejala Kemunduran
M. M Sharif, sebagaimana di kutip oleh Zuhairini, menjelaskan bahwa gejala kemunduran pendidikan Islam mulai tampak setelah abad ke-13 M. Yang ditandai dengan terus melemahnya pemikiran Islam sampai abad ke-18 M. Secara kuantitas, pendidikan Islam menunjukkan perkembangan yang baik. Madrasah telah diperkenalkan dan didirikan di beberapa wilayah Islam. Keterlibatan langsung penguasa terhadap pendidikan, memacu makin berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan.
Penguasa Dinasti Ayyubiyah, Mamluk, Usmani dan sebagainya terus memperbanyak bangunan madrasah-madrasah. Kontrol negara yang kuat terhadap sistem madrasah, membuat masyarakat Islam mengarahkan kegiatan pendidikan formal di madrasah-madrasah. Bahkan dari segi pengorganisasian, sistem madrasah mencapai puncak perkembangannya pada masa kerajaan Usmani, dimana sistem tersebut dilembagakan secara sistematis, dipelihara, dan ditunjang oleh pejabat “Syaikh al-Islam” dengan kecakapan dan efisiensi administrasi yang tinggi.
M. M Sharif dalam bukunya Muslim Thought, mengungkapkan bahwa gejala kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam tersebut sebagai berikut : ”.....telah kita saksikan bahwa pikiran Islam telah melaksanakan satu kemajuan yang hebat dalam jangka waktu yang terletak di antara abad ke VIII dan abad ke XIII M ... kemudian kita memperhatikan hasil-hasil yang diberikan kaum muslimin kepada Eropa, sebagai satu perbekalan yang matang untuk menjadi dasar pokok dalam mengadakan pembangkitan Eropa (renaissence)”.
Selanjutnya M. M Sharif dalam bukunya Muslim Thought menggungkapkan bahwa, yang mengakibatkan melemahnya pikiran Islam yang menjadikan kemunduran pendidikan Islam tersebut, antara lain sebagai berikut :
1. Telah berkelebihan filsafat Islam (yang bercorak sufistis) yang dimasukkan oleh Al-Ghazali dalam alam Islami di Timur, dengan filsafat Islamnya menuju ke arah bidang rohaniah hingga menghilang ia ke dalam mega alam tasawuf. Berkelebihan pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia Islam di Barat, dengan filsafatnya menuju ke arah yang bertentangan dengan Al-Ghazali yakni menuju ke jurang materialisme. Al-Ghazali mendapat sukses di Timur, hingga pendapat-pendapatnya merupakan satu aliran yang terpenting, Ibnu Rusyd mendapat sukses di Barat hingga pikiran-pikirannya menjadi pimpinan yang penting bagi alam pikiran Barat.
2. Umat Islam, terutama para pemerintahnya (khalifah, sultan, amir-amir) melainkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan tidak memberi kesempatan untuk berkembang. Kalau pada mulanya para pejabat pemerintahan sangat memerhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu pengetahuan, maka pada masa menurun dan melemahnya kehidupan umat Islam, para ilmu pengetahuan pada umumnya terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan, sehingga melupakan ilmu pengetahuan.
3. Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam. Sementara itu obor pikiran Islam berpindah tangan ke tangan Masehi, yang mereka ini telah mengikuti jejak kaum muslimin yang menggunakan hasil buah pikiran yang mereka capai dari pikiran Islam itu.

Ketidakmampuan intelektual tersebut, merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan ajaran yang menyatakan bahwa dunia adalah penjara bagi kaum muslimin sudah populer di tengah-tengah masyarakat Islam. Terjadilah kebekuan intelektual secara total.
Dalam hal ini Fazlur Rahman, dalam bukunya Islam, menjelaskan tentang gejala-gejala kemunduran intelektual Islam adalah sebagai berikut :
Penutupan pintu ijtihad (yakni, pemikiran yang orisinal dan bebas) selama abad ke-4 H/10 Mdan 5 H/11 M telah membawa kepada kemacetan umum dalam ilmu hukum dan ilmu intelektual. Ilmu-ilmu intelektual, yakni teologi dan pemikiran keagamaan, sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang disengaja dari intelektualisme sekuler dan juga pengucilannya dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme.

Sufisme telah berkembang dari sebuah pencarian yang mengisolasikan individu kaum asketik menjadi sebuah gerakan keagamaan. Dengan memadukan penahanan diri (zuhud) kaum asketik, dengan perkembangan spiritual yang mengarah kepada kesatuan Tuhan, sufisme manjadi tersebar luas di dalam konsep metafisika dan filsufis tentang keberadaan Tuhan, dan sebuah doktrin pemujaan dan sifat kemukjizatan seorang wali. Pada saat yang sama sufisme mulai mengembangkan benih-benih organisasi sosial dan juga mengembangkan sebuah misi kemasyarakatan.

B. Faktor-Faktor Penyebab Kemunduran
Kehancuran dan kemunduran-kemunduran yang dialami oleh umat Islam, terutama dalam bidang kehidupan intelektual dan material ini, dan beralihnya secara drastis pusat-pusat kebudayaan dari dunia Islam ke Eropa, menimbulkan rasa lemah dari dan putus asa di kalangan masyarakat kaum muslim. Ini telah menyebabkan mereka lalu mencari pegangan dan sandaran hidup yang bisa mengarahkan kehidupan mereka. Aliran tradisionalisme dalam Islam mendapat tempat di hati masyarakat secara meluas, dengan mengembalikan segala sesuatunya yang telah dikehendaki oleh Tuhan.
Sebab-sebab kemacetan pemikiran dan kemunduran umat Islam adalah lenyapnya metode berpikir rasional, yang pernah dikembangkan oleh Mu’tazilah. Pemikiran Mu’tazilah, yang telah menimbulkan peristiwa “mihnah”, telah mengundang antipati umat Islam bukan saja terhadap aliran Mu’tazilah, tetapi juga terhadap metode berfikir rasional. Sejak saat itu, masyarakat tidak mau mendalami ilmu-ilmu sains dan filosofis. Pemikiran logis dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya berfikir masyarakat Muslim sampai akhirnya pola berfikir mereka didominasi oleh superstisi, tahayyul, dan kejumudan.
Lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, termasuk ilmu pengetahuan. Rasionalisme pun kehilangan peranannya, dalam arti semakin dijauhi. Kedudukan akal semakin surut. Dengan dicurigainya pemikiran rasional, daya penalaran umat Islam mengalami kebekuan sehingga pemikiran kritis, penelitian, dan ijtihad tidak lagi dikembangkan. Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya intelektualisme yang mengagumkan. Mereka lebih senang mengikuti pemikiran-pemikiran ulama terdahulu dari pada berusaha melakukan penemuan-penemuan baru. Keterpesonaan terhadap buah pikiran masa lampau, membuat umat Islam merasa cukup dengan apa yang sudah ada. Mereka tidak mau berusaha lebih keras lagi untuk memunculkan gagasan-gagasan keagamaan yang cemerlang. Usaha yang mereka tempuh hanyalah sebatas pemberian syarah atau ta’liqah pada kritik-kritik ulama terdahulu yang bertujuan memudahkan pembaca untuk memahami kitab-kitab rujukan dengan menjelaskan kalimat-kalimat secara semantik; atau menambah penjelasan dengan mengutip ucapan-ucapan para ulama lain.
Dalam bidang fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taklid buta di kalangan umat. Dengan sikap hidup yang fatalistis tersebut, kehidupan mereka sangat statis, tidak ada problem-problem baru dalam bidang fikih. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab fikih lama dianggapnya sebagai sesuatu yang sudah baku, mantap dan benar, dan harus diikuti serta dilaksanakan sebagaimana adanya.
Kehidupan sufi berkembang dengan pesat. Keadaan frustasi yang merata di kalangan umat, menyebabkan orang kembali kepada Tuhan (bukan hanya sekedar dalam sikap hidup yang fatalistis), dalam arti yang sebenarnya, bersatu dengan Tuhan, sebagaimana yang diajarkan oleh para ahli sufi. Madrasah-madrasah yang ada dan yang berkembang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan sufi. Madrasah-madrasah berkembang menjadi zawiat-zawiat untuk mengadakan riyadah di bawah bimbingan dan otoritas dari guru-guru sufi, yang selanjutnya dikembangkan untuk menuntun para murid yang dikenal selanjutnya dengan istilah tariqat.
Keadaan yang demikian, sebagaimana dilukiskan oleh FazlurRahman :
Di madrasah-madrasah yang bergabung pada khalaqoh-khalaqoh dan Zawiat-zawiat sufi, karya-karya sufi dimasukkan ke dalam kurikulum yang formal, kurikulum akademis terdiri dari hampir seluruh buku-buku tentang sufi.

Kemunduran pendidikan Islam pada masa-masa ini, terletak pada merosotnya mutu pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam, tampak jelas dalam sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran pada umumnya madrasah-madrasah yang ada, di samping itu juga telah menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum dan terbatasnya ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni tinggal terdiri dari : Tafsir Al-Qur’an, hadist, fiqh (termasuk Ushul fiqh dan Prinsip-prinsip hukum), dan Ilmu Kalama tau Teologi Islam. Bahkan di madrasah-madrasah tertentu Ilmu Kalam pun dicurigai, dan di madrasah yang diurus oleh kaum sufi yang memang tersebar luas di negara-negara Islam pada masa itu ditambah dengan pendidikan sufi.
Materi pelajarannya sangat sederhana, yang ternyata dari jumlah total buku-buku yang harus dipelajari pada suatu tingkatan (bahkan tingkat tertinggi sekalipun) sangat sedikit. Kemudian waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan studi pun relatif singkat. Akibat lanjutnya adalah kurang mendalamnya materi pelajaran yang mereka terima, sehingga kemerosotan dan kemunduran ilmu pengetahuan para pelajarnya pun dapat dibayangkan.
Oleh karena itu, perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini dapat dikatakan macet total. Tidak ada buku-buku baru yang dihasilkan, pelajaran hanya memberikan komentar-komentar dari buku-buku dan bahkan komentar dari komentar. Dalam hal ini Fazlur Rahman, menjelaskan sebagai berikut :
Kebiasaan menulis komentar-komentar yang sistematis, pada mulanya, selalu disertai dengan penulisan karya-karya asli. Pada abad ke-6 H/12 M, misalnya Fakhrudin al-Razi menulis sebuah komentar atas Ibnu Sina, tetapi juga mengarang beberapa karya yang independen. Tetapi dikemudian hari berkembanglah kebiasaan untuk menulis komentar atas komentar, hingga karya yang asli yang menjadi subyek komentar tersebut hampir sama sekali terlupakan. Karya-karya tertentu mengenai teologi dogmatis tertimbun dalam lebih dari setengah lusin lapisan komentar. Komentar-komentar yang kemudian bahkan merosot menjadi catatan-catatan pinggir saja, dan biasanya menyangkut perbedaan-perbedaan pendapat yang superficial dan perbedaan-perbedaan verbal saja. Ini semua bersama dengan ringkasan-ringkasan yang singkat membentuk kurikulum madrasah.

Kebekuan intelektual dalam kehidupan kaum muslimin yang diwarnai dengan berkembangnya berbagai macam aliran sufi yang karena terlalu toleran terhadap ajaran mistik yang berasal dari agama lain (Hindu, Budha, maupun Neoplatonisme), telah memunculkan berbagai macam tariqat yang menyimpang jauh dari ajaran Islam. Tariqat-tariqat tersebut dalam perkembangannya dan dalam penerimaan masyarakat menjadi semacam agama populer (populer religion).

C. Usaha-usaha pemurnian agama Islam
Adipati terhadap Mu’tazilah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap kurikulum. Jatuhnya paham Mu’tazilah mengangkat posisi kaum konvervatif menjadi kuat. Untuk mengembalikan paham Ahlusunnah sekaligus memperkokohkannya, ulama-ulama melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan. Karena ulama dianggap sebagai kaum terpelajar dan memiliki otoritas keagamaan dan masalah Hukum Islam. Ulama-ulama ini menganut paham konservatif dan fundamental bahwa wahyu merupakan inti segala macam pengetahuan. Oleh karena itu, mereka hanya mengedepankan ilmu-ilmu keagamaan di lembaga pendidikan Islam.
Kondisi demikian diperburuk lagi oleh jatuhnya Kerajaan Abbasiyah oleh serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada masa pertengahan abad ke-13 M, ketika kota Bagdad sebagai pusat ilmu dan kebudayaan hancur sama sekali. Sekitar 800.000 penduduk Bagdad dibunuh. Perpustakaan dihancurkan, ribuan rumah penduduk diratakan. Dalam peristiwa tersebut, umat Islam kehilangan lembaga-lembaga pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat berharga nilainya bagi pendidikan Islam. Musnahnya beribu-ribu buku, baik buku-buku tentang keagamaan maupun ilmu-ilmu sains dan filsafat, mempengaruhi perkembangan intelektualisme Islam, apalagi yang menyangkut kelestarian ilmu-ilmu pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Ini salah satunya yang mempersulit umat Islam untuk mengembalikan kekayaan intelektual yang berharga seperti pada masa kejayaan semula.
Oleh karena itu, upaya pembaruan pendidikan Islam yang telah dilakukan para tokoh-tokoh, sesungguhnya lebih ditujukan kepada sasran pendidikan yang tentu disesuikan dengan ide pembaruan mereka. Misalnya, di Turki Usmani dengan pembaruanya Sultan Ahmad III, upaya pembaruan lebih banyak ditujukan pada: Pertama, pada pola pemikiran dan sikap yang tadinya anti Barat keproses kerja sama yang lebih intens dengan cara pengiriman duta-duta pelajar ke Eropa. Kedua, pendirian sekolah-sekolah modern, seperti sekolah teknik militer, dan Ketiga, pembentukan percetakan buku, hal ini dilakukan sebagai upaya mempermudah access informasi dari Barat.
Upaya pembaruan yang dilakukan Sultan Mahmud II lebih ditujukan pada :
1. Mencoba memasukan ilmu-ilmu umum ke sekolah-sekolah Islam (Madrasah).
2. Mendirikan sekolah pengetahuan umum dan model sekolah Barat. Kelihatanya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan Sultan Mahmud lebih mengarah pada perombakan model pendidikan yang menyangkut perubahan kurikilum dan metodologi.
Sama seperti halnya di Turki Usmani Muhammad Ali Pasya tokoh pembaharu mesir mencoba melakukan upaya pembaruan pendidikan Islam dengan cara mendirikan model sekolah Barat, seperti sekolah kedokteran, sekolah sastra, dan lain sebagainya. Bahkan guru-guru yang didatangkan untuk mengajar pun banyak yang didatangkan dari Eropa ini artinya, upaya pembaruan yang telah dilakukan Ali Pasya lebih banyak pada persoalan pembenahan model sistem pendidikan Islam termasuk di dalamnya persoalan kurikulum.
Dengan demikian, upaya pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan beberapa tokoh diatas sesungguhnya lebih banyak melakukan pembenahan sistem pendidikan Islam yang meliputi; perubahan model pengajaran, kurikulim pengajaran termasuk materi, dan juga sarana prasarana pendidikan Islam.

KESIMPULAN

Kemunduran pendidikan Islam sesungguhnya hanya karena akibat dari faktor-faktor kehancuran kekuasaan Islam (sosial, politik dan keagamaan) sebagaimana yang telah dibahas diatas, bahwa dengan jatuhnya pusat-pusat kekuasaan Islam menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan Islam dan kebudayaan Islam. Disamping itu juga sepanjang sejarahnya sejak awal dalam pemikiran Islam terlihat dua pola yang saling berlomba mengembangkan diri, dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan pola pendidikan umat Islam, yakni pola pemikiran yang bersifat tradisional, yang selalu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistis (pendidikan sufi), yang sangat memperhatikan aspek batiniyah. Sedangkan pola pemikiran yang rasional yang mementingkan akal pikiran, menimbulkan pola pendidikan empiris rasional, yang sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.
Pada masa jayanya pendidikan Islam, kedua pola tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi. Setelah pemikiran rasional diambil alih pengembangannhya oleh dunia Barat (Eropa) dan dunia Islam pun meninggalkan pola berfikir tersebut, maka dalam dunia Islam tinggal pola pemikiran sufistik, sehingga mengabaikan dan tidak menghasilkan perkembangan budaya Islam yang bersifat material. Dari aspek inilah pendidikan dan kebudayaan Islam mengalami kemunduran setidak-tidaknya dapat dikatakan pendidikan Islam mengalami kemandekan.


DAFTAR PUSTAKA

Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 2008.

Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam (menelusuri jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta : Prenada Media, 2007.

Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Wacana Ilmu, 1999

Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Prenada Media, 2005

0 komentar:

Posting Komentar