Rabu, 26 Mei 2010 | By: oyil-5225.blogspot.com

PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORAMATIF

BAB 1
PENDAHULUAN

Proyek tradisi dan pembaruan (turats wa tajdid) pemikiran islam pada dasrnya merupakan hasil dialektika kontinu antara transmisi atau warisan dengan inovasi dalam lingkar segetiga hermeneutis penyingkapan umat Islam terhadap warisan masa lalu, tradisi barat dan realitas konkrit-kekinian. Disinyalir oleh banyak pihak masih hegomonik terhadap pola pikir dan kesejahteraan umat islam dewasa ini. Oleh karena itu, Hasan Hanafi menyebut produk pemikiran Islam masa lalu sebagai at-turats (warisan budaya) yang memiliki tiga ciri pokok, yakni: al-manqul ilaini (sesuatu yang kita warisi), al- mafhum lana ( sesuatu yang kita pahami, dan al-muwajjih lisulukina ) sesuatu yang mengarahkan perilaku kita).
Atas dasar itu, sangatlah urgen bersikap kritis terhadap alur kesejahteraan umat islam tersebut melalui telaah atas mainstreaman konsepsi epistimologis yang telah membentuk bangunan pemikiran mereka selama ini dalam rangkai mengurai anyaman kontroksi nalarnya. Secara epistomologis, persoalan utama dalam pendidikan Islam yang berkaitan dengan tindakan kognitif dalam proses kultural, yakni tindakan iktisab al-ma’rifah ( pemerolehan pengetahuan) dan intaj al-ma’rifah ( produksi pengetahuan).
Kondisi riil pendidikan islam seperti di atas tidak dapat dipisahkan dari tendensi “pandangan filosofis” masyarakat muslim, mengingat terdapat kaitan erat dan hubungansinergis antara teori dan praktik pendidikan dengan pandangan filsafat yang mengilhami model dan kerangka pemikiran ( mode and frame of thought) mereka. Oleh karena itu, secara historis-filosiofis, konsip pendidikan islan yang ada sekarang merupakan kesinambungan dari konsep pemikiran keislaman masa lampau yang dihasilkan oleh para pemikir muslim kenamaan, semisal Muhammad bin Idris asy- Syafii, Abu al Hasan al-Asy’ari, Abu Hamid al- Ghozali.
Menurut Fazlur Rahman, pembaruan Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada realisasi Weltanschauung Islam yang asli dan moderen harus bermula pada pendidikan. Dengan demikian, pendidikan islam harus dijadikan sebagai salah satu tema sentarl dari agenga rekonstruksi pemikiran ke depan.
Terkait dengan penyelesaian problem pertama, metode historis-filosofis digunakan untuk menghimpun dan menjaring data-data kualitatif tentang masa lalu setrta menganalisisnya secara terarah, mendalam, dan mendasar (kritis-filosofis) agar peneliti bisa semaksimal mungkin menangkap keutuhan objek penelitian. Sementara itu, dalam hubungannya dengan problem kedua (kontinuitas kajian), penelitian ini diarahkan pada upaya menemukan kaitan, relevansi, dan kontekstualitas objek kajian konteks kekinian sehingga bisa memenuhi tuntutan reasonable.
Pada dasarnya, pendidikan bisa dilihat dari sudut pandang sekaligus, yaitu pendidikan senagai produk budaya (muntaj ats-staqafi) dan pendidikan sebagai produsen budaya (muntij ats-staqafah). Hubungan di antara keduannya bersifat dinamis dialektik sehingga esensi pendiikan adalah proses pembudayaan dan secara bersamaan kebudyaan adalah dasar praksis pendidikan.
Dengan demikian, tyerdapat kaitan organik dan pertautan sinergis antar pendidkan islanm dengan epistemologi sebagai konstruksi dinamis-dialektik al-aql al-mukawwan (objektivitasi rasionallitas budaya) dan al-’aql al-mukawwin ( subjektivasi rasionalitas budaya). Selain dapat dipahami sebagai aktivitas sistematis; dalam arti pemerolehan dan pengalihan pengetahuan dalam institusi-institusi yang dibangun untuk tujuan ini, pendidikan juga dipahami sebagai pengaruh sosial dan personal (perseorangan).
Sementara itu, disertai Fahrudddin yang mengkaji secara sistematis-historis terhadap kaitan organik antara keberdayaan pendidikan islam pada masa kemajuan Islam klasik dengan kondisi budaya, ekonomi, agama, dan politik masa itu memberikan kesimpulan bahwa puncak keberdayaan pendidikan islam terjadi dalam kondisi kaffah dalam agama, kosmopolitan dalam budaya dan ekonomi, dan tidak represif dalam politik. Melalui itu Fahruddin meneliti timbal balik anatar pendidikan Islam dan kondisi budaya, ekonomi, agama, dan politik.
Pada dasarnya, pendidikan bisa dilihat dari dua sudut pandang sekaligus, yaitu pendidikan sebagai produk budaya (muntij ats-staqafi) dan pendidikan sebagai produsen budaya (muntij ats-staqofah). Hubungan diantara keduanya bersifat dinamis-dialektik sehingga esensi pendidikan adalah proses pembudayaan dan secara bersamaan kebudayaan adalah dasar praksis pendidikan.
Dengan demikian, terdapat kaitan organik dan pertautan sinergis anatar pendiikan islam dengan epistimologi sebagai konstruksi dinamis-dialektik al-aql al mukawwan (objektivitasi rasionallitas budaya). Selain dapat dipahami sebagai sistematis; dalam arti pemerolehan dan pengalihan pengeathuan dalam institusi-institudi yang dibangun untuk tujuan ini, pendidikan juga dipahami sebagai personal yang menrntukan budaya dan prilaku kelompok atau individu.
Abad 111, 1V, dan V H. Yang merupakan penggal sejarah masa keemasan Islam, dinilai sebagai fase perkembangan terpenting bagi pendidiakn islam. Sebab, pada abad-abad inilah berlangsung proyek konstruksi budaya secara massif dalam pengalaman sejarah peradaban islam. Budaya dan tradisi pemikiran islam yang berkembang pada masa keemasan tidak bisa di lepaskan dari pengaruh budaya dan tradisi pemikiran yang berkembang pada awal Dinasti Abbasiyah. Dinamika budaya dan tradisi pemikiran di masa ini, sebagaimana dituturkan Ira M. Lapidus, terpolarisasikan ke dalam dua kantong, yaitu kantong kosmopolitan istana dan elit, politik, dan kantong masyarakat urban yang heterogen. Kedua kantong ini mengahsilkan ” ekspresi kultural” yang berlainan, dan hubungan di antara keduannya tidak selalu simbiotik asimilatif, tetapi sering kali justru polaristik konfliktural. Dalam konteks keIndonesiaan, pesantren merupakan istitusi pendidikan yang selain mempunyai corak indigenous ( keaslihan) Indonesia, ia juga mempunyai corak keislaman. Selain mengubah performance pesantren, gelombang neosufisme ternyata juga memunculkan fenomena keberagaman yang bercorak tradisional scripturalisme;v sikap keberagaman yang cenderung pada ligalisme atau penekanan kuat untuk mematuhi syariah secara ketat sebagaimana diperinci dalam fiqih. Sementara di sisi lain, filasafat (pemikiran kritis ) tidak mendapatkan tempat yang layak dn proposional. Sebab, gfilagat dinilai secara, priori sebagai hirarki dan dapat mengguncang sistem beragaman yang telah mapan.

BAB II
A. Sisi Dasar Budaya Pemikiran Islam
Sebuah budaya dan tradisi pemkiran adalah anak kandung zamannya. Ini berarti bahwa konstruksi budaya dan tradisi pemikiran tidak dapat dipisahkan dari determinan-determinan historis yang melingkarinya. Kenyataan tersebut mendorong para sejarawan untuk membuat periodisasi dan tipologisasi kesejarahan atas proses dan produk budaya dunia islam sebagai upaya menjelaskan dan menteorisasikan fenomena-fenomena historis peradaban Islam dalam kurun waktu dan wilayh geogarfis tertentu. Dibanding dengan sejarah Barat Moderen, dalam konteks kekinian, sejarah budaya Arab-Islam sebagai Turats (warisan tradisi masa silam) memang memilki karakteristik dasar yang berbeda. Jika sejarah Barat moderen adalah sejarah strukturasi pemikiran (tarikh bina ar-ra’y ) sehingga di dalamnya senantiasa berlangsung proses dialektis-dinamis dan kritis pemikirannya maka sejarah budaya Arab Islam adalah sejarah keragaman pemikiran (tarikh al-ikhtilaf ar-ra’y) yang berjalan dalam alur reproduktif-reperitif, yang bermula setelah lewatnya kurun kesejarahan awal (klasik) yang merupakan periode formatif dan produktif.
Menurut Mohammad Arkou, periode formatif dan produktif dalam kesejarahan islam berlangsung pada empat abad pertama sehingga pertengahan abad kelimah hijriah. Dominasi nalar ini ditandai, antara lain, oleh kuatnya keyakinan sebagian besar umat islam bahwa pemikjiran para ulama dipandang sebagai dogma yang bersifat absolut, tidak bisa ditentang, dan juga tidak bisa di ganggu gugat.
Bertolak dari hal tersebut, periodisasi kultural sejarah budaya Arab Islam yang digunakan oleh banyak sejarawan pada umumnya didasarkan atas kerangka orde politik yang memang dirasa lebih mudah.
Di satu sisi, klaim-klaim teoretis semacam itu menunjukkan bahwa jatuhnya Daulah Umayyah dan bangkitnya Daulah Abbasiyah, yang tidak sekedar dianggap sebagai pergantian dinasti, tetapi sebuah revolusi yang dimilkji arti penting bagi titik balik dalam sejarah Islam.

B. Tiga Dimensi Epistemologis Tradisi Pemikiran Islam
1. Epistimologi Bayani
Epistimologi bayani muncul bukan sebagai entitas budaya yang a historis, melainkan ia memilki akar kesejarahannya yang panjang dalam pelataran budaya dan tradisi pemikiran Arab. Berdasarkan hal ini, kiranya cukup beralasan jika determinkan historis awal mula peradaban islam adalah sinergi bahasa dan agama.
Nuansa kultural-intelektual semacam itu melahirkan komunitas agamawan-intelektual yang menempatiposisi otoritatif dalam ranah keagamaan dan keilmuan. Ilmu-ilmu yang menjadi lokomatif bagi formulasi keilmuan naqliyah-murni dan keilmuan naqliyah-aqliyah. Imam asyafii merupakan salah satu pioneer utama bayaniyyun yang mentorisasiepistime bayani sebagaiman terformulasikan dalam pendidikan ushul fiqihnya. Dalam analisis Fazlur Rahman, ijma’ pada awalnya bukanlah suatu fakta statis, melainkan proses demokratis yang terus berjalan. Akabn tetapi, pemahaman ijma yang seperti itu kemudian diubah oleh Asyafii menjadib suatu yang formal dan total sehingga tidak tersisapeluang bagi adanya perbedaan.
2. Epistimologi ’irfai
Tema ’irfai dalam kosa kata Arab mengandung arti pengetahuan (al-ma’rifa al-’alim) lantas tema itu populer dikalangan sufi untuk menunjuk arti pengetahuan termulia yang dihujamkan ke lubuk hati melalui cara kashf (penyingkapan mata batin). Secara historis, munculnya fenomena pembedaan antara pengertian ilmu dengan makrifat pada abad ke-3 H, sekaligus juga menandai proses munculnya kecenderungan tasawuf teoritis. Pada masa-masa sebelumnya, kecenderungan tasawuf memang telah tumbuh subur di dunia islam, namun masih dalam bentuk tasawuf suluki, yaitu gerakan moral dari orang-orang yang memperaktikkan hidup asketik.
Kalangan irfaniyyun (para penganut nalar gonostik) tidakn puas hanya berhenti pada pengetahuan tentang hal-hal fenomenal, tetapi mereka terus berjalan hingga sampai pada pengetahuan tentang hal-hal noumenal yang akhirnya justru diluar jangkauan indera dan akal manusia.
3. Epistimologi Burhani
Dalam khazanah kosa kata bahasa Arab, kata al-burhan secara epistimologis berarti argumen yang tegas dan jelas. Secara fundamental, setidaknya terdapat tiga prinsip penting yang melandasi konstruksi epistimologi burhani, yaitu: (1) rasionalisme (al-aqlaniyyah) (2) kausalitas (as-sababiyah) (esensialisme) (al-mahiyyah), yang dikemnamgkan lewat penggunana metode utama: diduksi dan induks, mengingat penetahuan adakalanya di peroleh melalui indera dan adakalanya melalui rasio.
Dalam kenyataan historisnya, sistem epistemik burhani tersebut banyak dikembangkan oleh kalangan filsuf dan ilmuan muslim, semisal al-kindi, al-farabi, ibn sina. Munculnya sistem epistemik ini terkait erat dengan pengaruh budaya Yunani yang merembes ke dunia Islam. Sistem epistemik ”ortodoks” dan arus utama dalam buadaya dan tradisi pemikiran Arab-Islam, paling tidak pada masa gerakan penerjemahan, adalah episteme bayani.

C. Kejayaan Epistemologi Bayani
Sejarah mencatat bahwa aktivitas intelektual yang dilakukan umat islam pada msa-masaawal adalah berijtihad tentang hukum-hukum agama. Aktivitas intelektual ini mengarah pada orientasi pemeliharaan Al-Quran dan motif keagamaan yang seringkali berbenturan dengan realitas politik.
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah berpusat di Damaskus, aktivitas intelektual terus bdrlanjut dan tumbuh berkembang dalam komunitas masyarakat muslim yang dalam istilah Hodgson, disebut dengan the Piety minded, yaitu kelompok masyarakat yang bersikap oposan terhadap penguasa saat itu dan mempunayi sikap keberagaman yang idealistik.
Dalam perkembangan selanjutnya, kejayaan kalangan tradisionalis (Ahlal-Hadits) ditopang oleh kesusksesan ortodoksi teologi Sunni dengan tampilnya Abu Hasan al Asyari yang semula menganut paham mu’tazila (rasionalisme) namun kemudian beralih ke paham tradisionalis. Dengan demikian, cukup beralasan sekiranya al-Asy’ari dipandang sukses dalam menorehkan garis haluan yang menjadi rancang bangun sejarah pemikiran islam.
D. Konteks Historis Kemampuan Bayani
Salah satu karakteristik yang paling menonjol dalam pengumpulan sejarah Islam pada kisaran abad III dan IV H. Adalah polarisasi masyarakat muslim ke dalam kelompok Sunni dan kelompok Syiah. Dengan demikian, madzhab sebagai pengelompokan personal selain berfungsi untuk konsolidasi internal dalam rangka membangun otoritas kolektif, juga berfungsi untuk ”kendaraan” politik para ulama dalam menggalang massa sebagai basis perluasan pengaruh mereka.
Ketika perbedaan-perbedaan politik, teologis, dan hukum mengancam integritas komunitas muslim, ortodoksi islam tampil untuk menyuarakan pemeliharaan kesatuan umatumat, dengan menjadikan ijma’ (konsensus) sebagai alat ”penghukum’ dan sumber hukum yang bisa meredam kian meluasnya perdebatan dan kritik, baik dari dalam maupun luar Sunni.
Relevansi fungsi mendasar ortodoksi tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa, seperti dijelaskan Ira M. Lapidus, meskipun secara formal komunitas muslim berada di bawah kepemimpinan kahlifah dan para ulama sebagai pemegang otoritas sejati tentang islam. Seperti ditandaskan oleh Arkoun, proses terbangunnya ortodoksi merupakan hasil kolaborasi antara ulama dengan penguasa. Kendati jika dirunut secara historis jauh ke belakang cikal bakal ortodoksi memang telaj eksis dan kuat sebelumnya, namun yang jelas kebangkitan Sunni.

BAB III
PERTAUTAN EPISTIMOLOGI BAYANI DAN PENDIDIKAN ISLAM 
PADA MASA KEEMASAN
A. Nalar Kebudayaan Pendidikan Islam
Kebudayaan adalah sesuatu yang khas insani karena hanya manusialah yang mampu menghasilakn kebudayaan. Kebudayaan ada karena ”intervensi” manusia terhadap karya cipata Tuhan. Hanya saja struktur nalar itu menempatkan Tuhan pada posisis yang sangat sentral;, sedangkan alam hanya ditempatkan sebagai media pengantar manusia untuk biasa sanpai kepadanya. Selanjutnya, struktur nalar tersebut memahami Tuhan dengan beroreintasi pada ”moralitas” menuju ke ”pengetahuan” (al ittijah min al-akhlaq ila al-ma’rifah). Dengan corak rasionalis semacam itu, mudah dipahami bila alur kebudayaan Arab-Islam mengerucut pada pengkajian dan kreasi wacana bayani atas fenomena ” kewahyauan” dan medium fenomena ”kealaman” dlam rangka pengenalan Tuhan.
Hubungan organik tersebut tampak sangat jelas sekiranya pendidikan Islam tidaka lagi dipahami dalam makna sempit, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas, yakni tidak hanya dipahami sebagai aktivitas sistematis pemerolehan dan pengalihan bpengetahuan dalam institusi-institusi yang dibangun untuk tujuan ini, tetapi juga berarti pengaruh sosial dan personal yang membentuk budaya dan perilaku kelompok atau individu.
B. Aliran Utama Pemikiran Pendidikan Islam
Aliran pendidikan Islam yang pernah berkembang pada masa keemasan, dengan berpijak pada pendapat Jawwad Ridla, secara garis besar dipetakan menjadi dua macam, yaitu aliran konservatif dan aliran rasional.
1. Aliran Konsevatif
Aliran pendidikan yang mrmpunyai kecenderungan ”keagamaan’ sangat kuat, bahkan hingga tidak jarang bisa menimbulkan beberapa implikasi sebagai berikut:
a. Memaknai ilmu hanya terbatas pada pengetahuan tentang tuhan
b. Berambisi pada keluhuran spiritual hingga bersikap ”mengecilkan” dunia; prioritas diberikan pada jenis pengetahuan yang diyakini bisa menunjuang keluhuran moral dan kebahagiaan di akhirat.
c. Menganggap ” ilmu hanya untuk ilmu” (al-’ilm fadhilah bi dhatih) ilmu secara instriktis dipandang bernilai utama meski tanpa digunakan untuk pengabdian kepada sesama.
Dengan prefesrensi demikian, pendidikan tentu saja jauh dari konsepsi sebagai aktivitas intraksi sosial yang m,enjadi wahana individu menemukan kepribadiannya dan budaya masyarakatnya.
2. Aliran Rasional
Hal pokok yang membedahkan antara aliran rasional dengan aliran konservatif adalah menyangkut cara pandang yang digunakan oleh keduannya dalam memperbincangkan wacana pendidikan. Aliran rasional menggunakan analisi filosofis secara signifikan, tidak seperti halnya aliran konservatif. Dalam pandangan aliran rasional, aktivitas pendidikan dipahami sebagai usaha mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki oleh individu sehingga esensi pendidikan adalah kiat transformasi ragam potensi menjadi kemampuan aktual. Pandangan aliran rasional tidak semata-mata berfungsi untuk mengetahui sesuatu, tetapi juga berfungsi memutuskan terhadap benar salah atau baik buruknya sesuatau. Oleh karena itu, menurut aliran ini, manusia dipandang memilki keabsahan penuh sehingga bisa bertanggung jawab terhadap setiap perbuatannhya.
C. Dominasai Bayani dalam Tradisi Keilmuan Islam
Budaya dan tradisi pemikiran islam yang diwariskan dari generasi terdahulu bisa disebut dengan istilah at-turats al qadim. Secara materiil, at0turats al-qadim sebenarnya tersusun dari beberapa elemen dasar, yaitu kitab suci (wahyu). Warisan kultural ini bisa sampai kepada kita melalui saluran ”cerita” lisan maupun tertulis, bukan melalui saluran partisipasi dan penyaksian langsung.
Menurut Hasan Hanafi, keilmuan Islam sebagai warisan intelektual utama yang samapai kepada kita dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam: keilmuan naqli murni, keilmuan naqli-aqli, dan keilmuan aqli. Dalam analisisnya, Hasan Hanafi menyimpulkan bahwa keilmuan aqli murni tidak meresap secara mendalam hingga ke dasar kesadaran umat sebagaimana meresapnya keilmuan naqli murni dan naqli-aqli.
Berkaitan dengan hal ini, Fazlur Rahman berpendapat bhwa ada beberapa alasan bagui perkembangan terhadap keilmuan tersebut yang semakin kaku hingga secara gradual merosotnya sains dan filasafat.
D. Tendensi Homeostatic Kemunculan Madrasah
Salah satu fungsi utama pendidikan adalah sebagai trans misi keilmuan. Pada awal perkembangannya, transmisi ilmu berpusat pada person-person, bukan pada institusi pendidikan. Dengan demikian, terbangunnya berbagai institusi pendidikan islam berlangsung setelah jaringan ulama menjadi mapan karena ditopang sistem isnad dan ijazah dalam pola transmisi keilmuan. Dalam upaya agar dapat memenuhi tuntutan pertama tersebut, program pengajran institusi formal pendidikan tinggi Islam, madrasah memfokuskan pada kajian keagamaan di institusi pendidikan tinggi islam, khususnya madrasah, kemudian memudar setelah kjian pemikiran Helenistik olh Skolastisisme Islam.
E. Relasi Kuasa Dalam Otoritas Keilmuan
Dalam pengertian sederhana, otoritas biasa dipahami sebagai kewenangan yang diakui atau kekuasaan yang mempunyai keabasahan. Padaperkembangannya, konsep otoritas saklar dan trasendental nabi pun berkembang menjadi sebuah diskursus intelektual-keagamaan yang penuh diwarnai denagan polemik seputar apakah semua berasal dari nabi bersifat ”normatif” atau hanya sebagiannya saja; apakah otoritas nabi sepenuhnya bersifat keagamaan ataukah juga bersifat keduniaan. Permasalahan pertama terkait erat dengan kecenderungan untuk ”mengagamakan” budaya justifikasi teologis dan intervensi politik ke dalam pemikiran fiqih, domain intelektual-keagamaan menjadi rentetan terhadap klaim-klaim dogmatik. Akibatnya pemikiran keagamaan secar pelan-pelan bergeser dari corak reflektif atas realitas menuju corak justifikatif terhadap realitas yangada dengan bungkus ideologi-teologi.

BAB IV
IMPLIKASI KEPENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A. Sketsa Kondisi dan potensi Pesantren
Kenyataan bahwa Islam dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, khususnya pulau Jawa, tidak bisa dilepaskan dari proses panjang asimilasi yang dilalui, di mana pesantren secara intensif terlibat di dalamnya; dan bahkan institusi ini menjadi salah satu media utama pengaruh Islam dalam pembinaan moral bangsa Indonesia. Pesantren di dalam dinamikanya dipandang mempunyi identitas tersendiri yang diistilahkan oleh Abdurrahman Wahid dengan subkultur. Sebagai salah satu buktinya adalah munculnya gagasan dari sebagian pemerhati pendidikan di tanah aiar untuk menyintesakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan moderen dalam rangka menghadirkan wacana pendidikan alternatif.
Dinamika zaman terus berjalan seiring dengan proses modernisasi yang menuntut pesantren untuk mau menerima perubahan dan perkembangan, hanya saja keajekan dan kontinuitas yang ada pada pesantren tersebut; dalm isi, justru diidentifikasikan sebagai penyebab terjadinya kesengjaan antara pesantren dengan derap modernisasi yang berlangsung di dunia luar.
B. Formasi Kultur Pesantren
Peran strategis pesantren yang telah dimainkan selama ini dalam menopang tumbuh-berkembangnya islam di tanah air, khususnya di pulau Jawa, menjadikan pesantren pesantren dicitrakan oleh sebagaian masyarakat muslim sebagai instutisi yang berorentasi pada etos keilmuan yang berbasis pada moralitas keagamaan.
Eksistensi pesantren bermula dari fungsinya sebagai tempat pendidikan keagamaan lanjutan dan pendalaman, bahkan lebih jauh lagi dari itu. Dengan demikian, pandangan yang mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan dan pusat penyiaran Islam tertua dan asli di Indonesia tentunya sangat beralasan.
C. Orentasi Fiqh-Sufistik Pendidikan Pesantren
Perpaduan Fiqih-sufistik yang begitu kuat memengaruhi budaya hidup, dunia pesantren telah mengakibatkan munculnya pola pikir dan tata prilaku komunitas pesantren menyangkut khazanah pengetahuan Islam yang senantiasa berada dalam alur formulasi normatif.
Dengan pola preferensi epistemik- etik di atas, tidak berlebihan sekiranya dinyatakan bahwa otoritas utama dalam pembentukan tata nilai di lingkungan pesantren dipegang oleh hukum fiqh dan kemudian diikuti oleh adat kebiasaan sufi.
D. Kekhasan Pesantren
Pesantren umunya dipandang sebagai basis Islam tradisional; yakni Islam yang masih terikat kuat oleh pemikiran ulama Abad pertengahan yang terbukti berakar kuat pada budaya Arab-Islam masa klasik (skolastik Islam).
Salah satu ciri menonjol wawasan yang berkembang dalam struktur nalar Arab-Islam abad Klasik pertengahan adalah prientasi dari moralitas menuju pengetahuan (al-ittijah min as-suluk wa al-akhlaq ila al-ma’rifah). Ciri wawasan epistemik ini bisa dilihat pada dominasi (hogemoni) cara pandang baik-buruk etis-amaliah, bukan cara pandang benar-salah saintifik-ilmiah terhadap dunia (komunitas) pesantren, bahkan sampai pada aktivitas akademisnya sekalipun.

E. Dilema Madrasah: Kelembagaan dan Pendidikan
Dalam realitas pendidikan islam di tanah air, saat dibicarakan tentang lembaga pendidikan Islam, selain pesantren, maka yang terbayang di benak kita adalah madrasah. Institusi pendidikan Islam ini lahir pada awal abad XXM: yang dapat dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan islamdi Indonesia. Terkait dengan hal itu, kemudian madrasah dipandang oleh para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaruan pendidikan islam di Indonesia.
Tumbuhnya madrasah di tanah air adalah hasil dari tarik-menarik anatara pesantren sebagai lembaga pendidikan asli (tradisional) yang sudah ada di satu sisi, dengan pendidikan Barat (moderen). Setidaknya, terdapat dua kecenderungan yang dapat diidentifikasi dari kemunculan format madrasah: pertama, madrasah-madrasah Diniyyah-Salafiayah yang terus tumbuh dan berkembang dengan peningkatan jumlah maupun pengetahuan kualitas sebagai lembaga tafaqquh fi ad-din (lembaga yang semata-mata berorentasi mendalami agama), dan kedua, madrasah-madarasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, juga memasukkan beberapa materi yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda.
Masuknya madrasah ke dalam subsistem pendidikan nasional memiliki berbagai konsekuensi, antara lain: (1)dimulainya suatu pola pembinaan mengikuti satu ukuran yang mengacu pada sekolah-sekolah pemerintah;(2) madrasah mengikuti kurikulum nsional, (3) madrsah ikut serta dalam Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), dan berbagai peraturan yang diatur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudyaan. Dengan demikian, keuntungan positif yang diperoleh melalui UU tahun1989 dan PP tahun 1990 ternyata juga melahirkan berbagai kendala.
F. Stagnasi Konsep Pendidikan Islam
Pedagogisme adalah pendekatan dalam pendidikan yang menekankan kepentingan peserta didik dan masalah-masalah teknis yang terkait dengannya, tanpa menghiraukan masalah-masalah fundamental, seperti partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan.
Dilihat dari salah satu aspek, titik simpul berbagai hambatan tersebut berpangkal pada persolan ”epistemologi”. Alasannya, sebagai suatu kegiatan sadar tujuan, teoretitasi dan implementasi pendidikan Islam dapat dipandang sebagai ekspresi intelektual-ideologis kiprah manusia dalam meresapi realitas dan mengartikulasikan nilai-norma seiring dengan proses usahanya menggumuli dinamika sosial-budaya yang mengitari.

BAB V
FORMULASI EPISTIMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
A. Tendensi Umum Epistimologi
Pendidikan merupakan bentuk hubungan paling esensial dalam kehidupan manusia sehingga fungsi dan perannya dalam kehidupan yang terus menerus berubah akan tetap langgeng. Dalam kaitannya ini Fazlur Rahman, misalnya, seorang tokoh neomodernisme Islam, juga mengungkapkan kegelisahannya prihal nasib pendidikan Islam.
Dalam konteks ini realasi antara pendidikan dengan kebudayaan, sangat relevan untuk disimak kritik dari Nasr Hamid Abu Zaid yang menyatakan bahwa bangunan pemikiran keagamaan umat islam hingga kini masih ditandai oleh lima karakteristik dasar, yaitu:
(1) penyamaan anatar pemikiran dan agama (2)penafsiran terhadap realitas historis-empiris yang bertumpu pada Causa Prima; (3) bersandar sepenuhnya pada otoritas ”tradisi” (turats) atau Salaf;(4) absolutisme-ideologis, dan (5) pengabdian aspek historis.
Konsep dan praktik pendidikan Islam yang muncul dari ”rahim” ideologi Jabariyah semacam itu tentunya tidak akan sanggup memlopori gerak perubahan, kemajuan, dan pembebasan. Sebaliknya, prinsip pendidikan yang ada hanya sekedar penyadaran posisi, status, dan kewajiban manusia (peserta didik) dalam piramida tatanan hierarkis yang sudah dipredestinasi oleh suatu nasib.
B. Tinjauan Normatif Epistimologis
Al-Qur’an dan As-Sunnah telah memberikan panduan umum tentang tiga persoalan mendasar pemikiran (filsafat) pendidikan, yakni (1) Midan al-haqiqah (ontologi), (2) Nazhariyyat al-ma’rifah (epistimologis) (3) Nazhariyyat-al qiyam (aksiologi). Kerangka dasar wawasan pengetahuan dalam pendidikan Islam telah digariskan oleh Al-Qur’an, khususnya pada QS. Al-alaq (96): 1-5. Di sini, pengetahuan manusia disebut dengan ”pembacaan” (al-qari ah) yang meliputi dua wilayah pokok, yakni (1) pembacaan kitab ”penciptaan” dan (2) pembacaan ”kitab tertulis”. Dengan demikian, pengetahuan manusia adalah sesuatu yang hushuli (tanpa menutup kemungkinan terhadap yang hudhuri) seiring proses dinamis yang digumulinya dalam upaya menyingkap tirai-tirai realitas.
C. Refleksi Epistimologis
Pendidikan merupakan aktovitas kultural yang sangat khusus dan fundamental dalam kehidupan manusia karena tanpa pendidikan mustahil sebuah kebudayaan atau peradaban dapat bertahan hidup. Ini mengandung arti bahwa fungsi kultural pendidikan, jika disederhanakan , meliputi: fungsi konservatif (melestarikan kultur) dan fungsi progesif (memajukan kultur).
Pendidikan sebagai aktivitas kultural yang khusus dan fundamental setidaknya dapat dijelaskan melalui dua perspektif, yakni perspektif historis dan perspektif filosofis. Salah satu hal mendasar dalam pendidikan yang hingga kini belum terpecahnya secara tutas adalah menyangkut persoalan ”epistermologis”, dengan alasan bahwa proses belajar-mengajar dalam teks pendidikan senantiasa memuat unsur penyampaian pengetahuan, ketrampialn, dan lain-lain. Dilihat dari epistimilogis, satu hal yang membedakan pendidikan islam dari pendidikan lainnya adalah pengakuan terhadap keberadaan wahyu (Al-Qur’an dab As-Sunnah nabi) sebagai sumber kebenaran.

BAB VI
A. Kesimpulan
Sebagai turats, historisitas budaya dan tradisi pemikiran Islam dapat dicermati dari terjadinya perubahan, pergeseran, dan kristalisasi struktur tipogisnya akibat pengaruh dinamika konteks historis yang melingkari. Budaya dan tradisi pemikiran Islam pada masa keemasan (abad III-V H) mengadung tiga struktur epistimologis yang saling bersaing, yaitu bayani, irfani, dan burhani. Dari ketiga epistimologi yang saling bersaing tersebut, epistimologi bayani-lah yang paling dominan karena selain ia bersifat ”asali” juga tipikal dengan budaya Arab-Islam dan nalar- keagamaan kalangan tradisionalisme Sunni yang berhasil membangun ortodoksi keagamaan.
B. Saran
Masa keemasan Islam selain menampilkan unsur-unsur kreatif dan progresif yang menjadi sisi kekuatannya, juga menampilkan unsur-unsur reaktif dan finalistik yang mengakibatkan pemekeran budaya dunia Islam tidak mampu brtahan lebih lama. Masa keemasan Islam sebagai bagian dari turats Islam adalah wujud ”Islam historis” yang tidak bisa dianggap identik dengan ”Islam normatif”, betapapun tingginya prestasi budaya yang dicapai.

Selasa, 11 Mei 2010 | By: oyil-5225.blogspot.com

IDEOLOGI PENDIDIKAN DI IRAN


Oleh: Khoiril Mawahib
BAB I 

PENDAHULUAN

Pendidkan merupakan sebuah tonggak landasan yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa, karena baik buruknya pendidikan sangat mempengaruhi segala sesuatu yang ada dalam sebuah Negara baik ekonomi, politik, sosial bahkan nilai-nilai moral suatu bangsa. Dalam prakteknya, Pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan konteks sosial, ekonomi, kultural dan politik dan tidak bisa berdiri sendiri akan tetapi pendidikan menjadi ajang pertarungan kepentingan yang bisa membawa pengaruh pribadi dan kelompok dalam suatu masyarakat tertentu. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri lagi, karena setiap pemimpin yang menduduki pemerintahan ingin melakukan perubahan yang dapat membawa manfaat hajat orang banyak.
Mengenai permasalahan diatas juga terjadi pada masa kejayaan Islam di Iran, dimana pada masa Bani Abbasiah, rakyat Iran cukup damai, aman dan tentram dan ilmu pengetahuan cukup berkembang dikarenakan sistem pendidikan dan ideologi yang berkembang cukup sejalan. Akan tetapi silih bergantinya pemimpin, Pendidikan mulai berubah kembali seperti peradaban pra masa keemasan Islam karena beberapa aliran Islam membawa perubahan pandangan. Pada masa transisi tersebut, banyak rakyat Iran menentang karena perbedaan ideologi yang dapat membawa penyimpangan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ideologi Pendidikan
Ideologi berasal dari kata idea (Inggris), yang artinya gagasan, pengertian. Kata kerja Yunani oida yang berarti mengetahui, melihat dengan budi. Kata “logi” yang berasal dari bahasa Yunani logos yang artinya pengetahuan. Jadi Ideologi mempunyai arti pengetahuan tentang gagasan-gagasan, pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar.[1]
Menurut Alastair C. Macintyre dalam pandangannya, bahwa ideologi mempunyai kata kunci:
1.      Ideologi menggambarkan karakteristik-karakteristik alam, masyarakat maupun keduannya dan hanya bisa dikaji melalui pengkajian secara empiris.
2.      Adanya perhitungan hubungan antara apa yang dilakukam dengan apa yang seharusnya dilakukan.
3.      Ideologi tidak hanya dipercayai oleh kelompok tertentu melainkan diyakini sedemikan rupa sehingga setidaknya merumuskan sebagian keberadaan (eksistensi sosial) mereka bagi mereka serta keyakinan-keyakinan yang mencerminkan kehidupan sosial tertentu.[2]
Dalam pengertian sehari-hari menurut Kaelan,‘idea’ disamakan artinya dengan cita-cita. Dalam perkembangannya terdapat pengertian ideologi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Istilah ideologi pertama kali dikemukakan oleh Destutt de Tracy, seorang Perancis pada tahun 1796. Menurut Tracy, ideologi yaitu ‘science of ideas’, suatu program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat.
Gunawan Setiardjo mengemukakan bahwa ideologi adalah seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.[3] Sedangkan yang dimaksud dengan ideologi pendidikan adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang mengarah dan menggerakkan suatu tindakan kehidupan sosial khususnya dalam bidang pendidikan.[4]
Dari berbagai pendapat diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa ideologi pendidikan merupakan sebuah keyakinan-keyakinan yang melekat pada golongan masyarakat tertentu untuk menggerakkan dan mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dalam masyarakat secara keseluruhan dengan tujuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan kemlasahatan bagi hidup orang banyak.
Ideologi dalam makna negatif dapat diartikan Sebagai false consciousness, Sebagai keyakinan yang tidak ilmiah,  Sebagai keyakinan & ide-ide yang dibangun oleh kelas yang berkuasa untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan mereka. Sedangkan Ideologi dalam makna positif: sebagai sistem keyakinan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok tertentu.[5]
B.     Sejarah Singkat Iran
Sebelum masuk pada pokok permasalahan mengenai ideologi pendidkan yang ada di Iran, perlu diketahui terlebih dahulu perjalanan Negara Iran dari beberapa abad yang telah lalu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ideologi yang berkembang pada saat ini dan bagaimana eksistensi masyarakat dalam menjalani kehidupan.
Bangsa Iran berasal dari Ras Arya yang merupakan salah satu ras Indo-European. Migrasi bangsa Arya ke berbagai belahan bumi seperti ke Asia kecil dan India dimulai pada 2.500 Sebelum Masehi (SM). Peradaban di dataran tinggi Iran dimulai 600 tahun SM di mana saat itu terdapat 2 kerajaan yakni Parsa di sebelah Selatan dan Medes di Timur Laut Iran.
Pada tahun 550 SM, Cyrus the Great berhasil merebut 2 kerajaan Persia tersebut, namun tidak berhasil memperpanjang kekuasaannya. Pada 521 SM Raja Darius mendirikan Dinasti Achaemenid hingga Darius III. Pada 323 SM, Alexander the Great berhasil menaklukan Dinasti Achaemenid. Di masa Dinasti Parthian (Raja Mirthridates II) berhasil menjalin hubungan dengan Cina dan Roma yang dikenal dengan perdagangan sutranya (Silk Road). Pada 220 SM, Dinasti Sassanid mengakhiri kejayaan Dinasti Parthian. Setelah peperangan selama 4 abad, seiring memudarnya Kerajaan Romawi, Kerajaan Persia hancur dan diinvasi oleh Kerajaan Mesir dan Arab lainnya dan berhasil menyebarkan agama Islam.
Dari abad 7 hingga abad 16 Masehi, berbagai Dinasti keturunan Arab, Turki dan Mongol saling berkuasa yakni Dinasti Abbasid, Dinasti Saffarian, Dinasti Samanid. Pada abad ke 16 khususnya pada masa Kerajaan Savafid, tercapai masa kejayaan dalam bidang kerajinan dan pembuatan karpet. Pada abad 17 Dinasti Afshar berkuasa, namun kemudian digantikan oleh Karim Khan Zand yang mendirikan Dinasti Zand di Selatan. Di sebelah Utara Suku Qajar berhasil mematahkan Dinasti Zand dan mendirikan Dinasti Qajar hingga abad 19 dengan Rajanya yang terakhir bernama Ahmad Shah.
Pada tahun1921 terjadi kudeta mileter yang dipimpin oleh Reza Shah Pahlevi yang kemudian menjatuhkan Ahmad Shah dan mengangkat menjadi raja Iran. Anaknya yang bernama mohammad Reza Shah naik tahta dan kemudian naik tahta hingga terjadi revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatollah Imam Khomeini pada tahun 1979.

C.    Perkembangan Ideologi Pendidikan Iran
Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 merupakan revolusi terbesar di dunia disamping revolusi perancis, rusia dan china. Revolusi Iran muncul bukan hanya ada rasa kekecewaan kaum elit atas kebijakan Shah Pahlevi dalam pengambilan kebijakan mengenai pemotongan hubungan Agama dengan peran politik dan sosial melainkan juga kekecewaan seluruh komponen bangsa dan bahkan kaum minoritas.[6] Permasalahan tersebut sejalan dengan pandangan aliran ideologi konservatif yang kurang memperhatikan kaum minoritas, bahkan menyalahkan subyeknya. Orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dianggap kesalahan mereka sendiri dan mengajarkannya untuk bersabar sambil menunggu nasib mereka berubah dengan sendirinya.[7]
Pada masa Shah Reza Pahlevi berkuasa, sarana pendidikan berpusat di kota sedangkan penduduk pedesaan kurang mendapat perhatian, hal itu pula yang menjadikan banyak kalangan mengkritik.[8] Disamping kebijakan seorang pemimpin yang kurang memperhatikan rakyatnya juga didukung sebagian masyarakat muslim syiah yang cenderung tidak mau berusaha keras untuk lebih maju akan tetapi hanya pasrah menunggu keajaiban datang dari tuhan.[9]
Salah satu tokoh penting penentang pemkiran Pahlevi adalah Ali Syariati. Dia dikenal dengan manusia yang kompleks dan hampir gerakan-gerakan di Iran memilikinya. Tidak hanya itu, bahkan Ali Syariati sering mengkritik ulama-ulama syiah yang menurutnya sangat konservatif tidak mau membuka diri. Dia juga dikenal sebagai seorang filosof terkemuka karena pergaulannya yang sangat luas dan mempunyai ideologi yang berwarna-warni.
Menurut Syariati, polarisasi masyarakat terdiri atas dua kutub yang dialektis. Dalam konsepnya dia mengistilahkan kutub Habil dan kutub Qabil, mengambil nama dan karakter dua anak Adam as. Syariati menyebut kutub Qabil sebagai kelas penguasa, yang merupakan pemilik kekuasaan, diantaranya politik, ekonomi dan kekuasaan religius. Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Firaun sebagai lambang penindas, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun sebagai lambang kapital dan kapitalisme, dan kekuasaan intelektual-religius dilambangkan oleh tokoh Bal'am sebagai simbol kemunafikan. Ketiga poros kekuasaan ini saling menunjang dan bekerja sama. Firaun merestui Qarun melakukan perampokan sistematis dan penguasaan atas pasar. Qarun memberikan jaminan finansial dan mendukung kerja intelektual Bal'am sementara  Firaun memberikan jaminan politis. Dan Bal'am sendiri menyediakan basis doktrin untuk membenarkan rezim Firaun dan penguasaan ekonomi Qarun. Ali Syariati menyebut. ketiga komponen penopang kekuasaan Qabil sebagai trinitarianisme-sosial. Sedangkan kutub Habil adalah representasi kelas yang dikuasai, yang ditindas. Kutub Qabil merupakan penjelmaan kelas rakyat (an-nas) yang tercakup di dalamnya: orang-orang tertindas, yang diekploitir dan kaum lemah.
Menurut Syariati, Allah dalam konfrontasi kedua kutub masyarakat ini Allah SWT memihak pada kutub rakyat (Habil). Bahkan, Syari'ati berpendapat bahwa dalam beberapa ayat al-Quran Allah bersinonim dengan An-Nas. Misalnya, dalam surah At-Tagabun ayat 17, "Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik".
Syari'ati menjelaskan bahwa Allah yang dimaksud dalam ayat ini adalah an-nas (rakyat), karena Allah sama sekali tidak membutuhkan pinjaman. Ketika disebutkan, "langit, bumi, di antara keduanya dan di bawah perut bumi adalah kepunyaan Allah", maka dimaknakan bahwa semuanya itu adalah milik rakyat, bukan milik Qarun (perorangan). Selanjutnya, bila dikatakan, "Segala sesuatu akan kembali kepada Allah", maka itu dimaksudkan bahwa keseluruhan manfaat dari kekayaan alam diperuntukkan bagi kemakmuran dan harus kembali kepada rakyat banyak bukan hanya dinikmati kelompok tertentu.
Menurut Syari'ati, rakyat merupakan wakil-wakil Allah sekaligus keluarga-Nya. Syari'ati menyebutkan pula adanya fakta bahwa Al-Qur’an dibuka dengan nama Allah dan diakhiri dengan nama rakyat (an-nas). Ka’bah, kiblat umat Islam disebut sebagai rumah Allah (house of God), bukanlah dimaksudkan Allah butuh rumah melainkan rumah itu adalah milik semua orang (rakyat) dan Makkah disebut pula al-bayt al-'atiq yang artinya adalah kebebasan.
Tentu saja penyamaan An-Nas dengan Allah hanya dalam wacana sosial bukan wacana aqidah. Dalam ranah teologis tetap tidak bisa disamakan antara Allah dengan An-Nas, namun dalam ranah sosiologis, menurut Syariati, keduanya adalah sinonim. Siapapun bisa tidak sepakat, namun inilah sumbangsih pemikiran Syariati yang mampu menerjemahkan kosa kata agama dalam kosa kata  sosiologis. Menurutnya Islam adalah kekuatan yang menjadi pisau tajam yang memprakarsai sebuah perjalanan baru sejarah sosial Islam. Islam tidak semata-mata memuat deretan do'a namun juga perlawanan yang bergelora untuk memberikan manfaat kepada sebanyak-banyaknya manusia. Jean Paul Sartre berkata, "Saya tidak memiliki agama, namun jika harus memilih salah satu, kupilih agamanya Syariati."[10]

D.    Ideologi dan Kemajuan Pendidikan Iran
Negara Islam dikenal pendidikannya yang tertinggal dibandingkan dengan Negara-negara barat. Permasalahan tersebut dikarenakan dunia muslim menabukan filsafat yang muncul pada masa-masa sekarang. Dahulu pada masa keemasan Islam tidak bisa mengabaikan peran filsafat sebagai peletakan basis keilmuwan.[11] Akan tetapi berbeda dengan pandangan Syariati, dimana seorang tokoh tersebut justru bisa membangkitkan Negara Iran dengan pandangan yang kritis terhadap situasi politik, ekonomi dan sosial budaya sehingga hal-hal yang dianggap mempengaruhi pola fikir rakyat Iran mampu diberontak dan menghasilkan peradaban baru oleh pemimpin setelah Syah Pahlevi.[12]
Revolusi yang terjadi di Iran telah memberikan karunia, berkah dan keberhasilan yang begitu berharga bagi rakyat Iran. Revolusi ini telah menghadiahkan nilai-nilai luhur seperti tuntutan kemerdekaan, kebangkitan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kemandirian. Nilai-nilai inilah yang mendorong rakyat Iran untuk terus berjuang memutus ketergantungan di bidang ekonomi, politik, dan budaya asing serta mewujudkan keadilan ekonomi dan kemajuan iptek.
Setelah adanya revolusi, Islam senantiasa menekankan perlunya menuntut ilmu. Dan hal tersebut dilandskan pada ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang mengajak kaum muslimin untuk menuntut ilmu di manapun dan kapanpun. Ajakan ini disikapi secara serius oleh pemerintah dan rakyat Iran. Pada tahap awal, pemerintah Republik Islam Iran berusaha membuka peluang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat untuk bisa mengenyam pendidikan formal, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pasal 30 UUD Republik Islam Iran menyatakan, "Pemerintah berkewajiban menyediakan pendidikan dan pengajaran gratis bagi seluruh rakyat hingga akhir tingkat pendidikan menengah dan mengembangkan pendidikan tinggi secara gratis pula hingga semampunya".
Sejak awal Revolusi Islam, pemerintah Iran telah mencanangkan program perang melawan buta huruf. Terkait hal ini, Bapak Pendiri Revolusi Islam, Imam Khomeini menugaskan dibentuknya Lembaga Kebangkitan Melek Huruf. Dan dengan tekadnya tersebut maka alhasil meningkatkan kemajuan rakyat Iran, angka buta huruf di Iran mencapai 50 persen, namun pasca Revolusi angka ini berhasil ditekan menjadi 10 persen. Prestasi cemerlang Lembaga Kebangkitan Melek Huruf ini bahkan berkali-kali mendapat pujian dan penghargaan dari lembaga-lembaga internasional.
Di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di Iran terus mengalami kemajuan dan pertumbuhan yang pesat baik secara kualitas maupun kuantitas. Setiap tahun, terdapat banyak sekolah yang dibangun di berbagai kawasan di Iran. Pemerintah dan para prakstisi pendidikan juga terus berusaha menyesuaikan kurikulum dan metode pendidikannya dengan pelbagai hasil temuan baru di bidang ilmu pengetahuan.
Pasca Revolusi Islam, para pakar sains dan teknologi di Iran berhasil mencapai kemajuan yang pesat, bahkan tergolong sebagai lompatan ilmiah. Teknologi nano sebagai salah satu dari empat teknologi paling bergengsi dan rumit di dunia, telah bertahun-tahun menjadi fokus perhatian dan penelitian para ilmuan Iran. Teknologi ini bahkan bisa memperbaiki molekul dan sel-sel badan yang rusak. Teknologi nano biasa dimanfaatkan untuk keperluan kedokteran, pertanian, industri, dsb. Hingga kini, Iran tergolong sebagai negara maju di bidang teknologi nano dan berhasil memproduksi sejumlah komoditas dengan bantuan teknologi nano.
Salah satu keberhasilan lainnya Iran di bidang iptek adalah prestasi cemerlang di bidang stem cell atau sel punca. Selama bertahun-tahun, para ilmuan Iran telah mengembangkan teknologi sel punca untuk pengobatan dan keperluan kedokteran lainnya. Sel punca ini mampu memproduksi beragam jenis sel tubuh manusia, karena itu, sel ini memiliki peran yang amat vital. Para ilmuan Iran juga berhasil memanfaatkan teknologi sel punca untuk menyembuhkan beragam penyakit akut yang selama ini sulit diobati. Seperti penyembuhan penyakit buta dan beragam kasus lainnya. Namun prestasi paling berkesan di bidang ini adalah keberhasilan para ilmuan Iran mengkloning seekor kambing dengan memanfaatkan sel punca. Prestasi ini merupakan bukti kemajuan Iran di bidang kedokteran, khususnya dalam reproduksi sel punca.
Pusat Riset Ruyan merupakan lembaga penelitian yang berhasil mengembangkan teknologi stem cell atau sel punca di Iran. Televisi CNN dalam laporannya mengenai kemajuan Iran di bidang teknologi ini menuturkan, "Pusat Riset Ruyan adalah salah satu sentra penelitian sel punca janin di Iran. Di lembaga ini, sains berkembang pesat". CNN dalam laporannya ini juga menambahkan, salah satu penyebab kemajuan Iran di bidang iptek adalah karena para pemimpin negara ini menghendaki ilmu pengetahuan.[13]
Dari pemaparan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Iran mengalami kemajuan yang sangat draktis berkat kerja keras Imam Khomeini pemimpin Iran dan tokoh gerakan Ideologi yaitu Ali Syariati. dan Iran sampai sekarang dikenal dengan Negara Muslim yang mengalami perkembangan tercepat bahkan di negara-negara dunia.

BAB III
PENUTUP

Iran pra revolusi mengalami kemunduran dalam berbagai bidang. Hal tersebut dikarenakan ideologi Islam di Iran yang sangat tertutup dan banyak masyarakat Iran hanya berlandaskan pada teks-teks Al-Qur,an dan Hadits serta beranggapan bahwa segala sesuatu hanya tuhan yang menentukan, sehingga orang malas melakukan sesuatu. Disamping itu kebanyakan aliran Islam tidak ingin menafsirkan teks tersebut dalam ranah keilmuwan dan mengabaikan filsafat sebagai basis keilmuwan sehingga Iran sangat tertinggal.
Melihat fenomena tersebut akhirnya seorang tokoh muslim yang bernama Ali syariati melakukan pergerakan dan pertentangan-pertentangan kepada muslim yang mempunyai aliran-aliran yang dianggapnya konservatif tidak mau membuka diri dengan hal-hal baru dan hanya berpijak pada teks. Pergerakan tersebut membuahkan hasil yang camerlang bagi bangsa Iran. Dan bahkan beberapa tahun terakhir Negara Iran dinobatkan sebagai Negara tercepat perkembangannya di Dunia dan bahkan beberapa kali lipat dengan Negara-negara lain. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pertumbuhan ekonomi, politik dan perkembangan pendidikan yang khususnya perkembangan dalam bidang teknologi yang sangat cepat.

DAFTAR PUSTAKA

http://info.g-excess.com, 10 maret 2010.
M. Agus Nuryatno,  Presentasi Dalam Perkuliahan Mata Kuliah Ideologi Pendidikan, Februari 2010.
William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Abd. Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media,2003.


[2] William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 32.
[4] M. Agus Nuryatno, MA.PhD,  Presentasi Dalam Perkuliahan Mata Kuliah Ideologi Pendidikan, Februari 2010.
[5] Ibid
[7] William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, xiii
[8] Abd. Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media2003, hal. 79.
[11] Ibid..
[12] William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002,xiii

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

Oleh: Khoiril Mawahib

Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang perlu digarisbawahi adalah meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Artinya:Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa (QS 49: 13).

Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.

Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan”. 

Hak-Hak Perempuan

Agama Islam menempatkan perempuan menjadi mitra setara (partisipatif) bagi jenis laki laki. Dan lelaki menjadi pelindung wanita (qawwamuuna 'alan nisaa'). Lahiriyah dan bathiniyah (fisik dan mental) satu sama lain memiliki kelebihan pada kekuatan, badan, fikiran, keluasaan, penalaran, kemampuan, ekonomi, kecerdasan, ketabahan, kesigapan dan anugerah (QS. An Nisa' 34).

Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan.

Secara umum surat Al-Nisa' ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan:
Artinya:Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya.

Secara moral, perempuan punya hak utuh menjadi IBU = Ikutan Bagi Umat. Masyarakat baik lahir dari Ibu baik, dengan relasi kemasyarakatan pemelihara tetangga dan perekat silaturrahim.

Dalam Ajaran Islam, penghormatan kepada Ibu menempati urutan kedua sesudah iman kepada Allah (konsep tauhidullah). Bersyukur kepada Allah, berterima kasih (penghormatan) kepada Ibu, diwasiatkan sejalan untuk seluruh manusia, menjadi disiplin hidup yang tidak boleh diabaikan dan tidak dibatas oleh adanya perbedaan anutan keyakinan. Hubungan hidup duniawi wajib dipelihara baik dengan jalinan ihsan (lihat QS. 31, Luqman : 14-15). 

Dalam alih generasi, perempuan menjadi pembentuk generasi berdisiplin. Dari rahim Ibu lahir manusia bersih menurut fithrah beragama tauhid. Pembinaan sisi keyakinan agama dan kebiasaan hidup istiadat dan budaya amat penting membantu meraih keberhasilan pendidikan generasi berakhlak Islami. 

Konsep Islam, “dibawah telapak kaki perempuan, terbentang jalan keselamatan (Sorga)”. Kebahagiaan menanti setiap insan yang berhasil meniti jalan keselamatan yang diajarkan perempuan dengan baik, penuh kepatuhan dan rasa hormat yang tinggi. 

Hak Wanita Dalam Islam Mengenai Pendidikan

Al-Qur'an dan Hadis Nabi mewajibkan muslim baik laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pengetahuan dan pendidikan. Ini adalah tugas bagi setiap Muslim. Hadis Nabi berulang kali menekankan perolehan pendidikan dan pengetahuan untuk setiap laki-laki Muslim dan perempuan. Sebagai contoh, salah satu Hadis yang menyatakan, "Mencari ilmu adalah kewajiban setiap Muslim, pria atau wanita.". Hadis lain menyatakan, "Carilah pengetahuan dari dudukan ke liang kubur.". Hadis lain menyatakan bahwa, "Bapa, jika dia mendidik anaknya dengan baik, akan masuk surga. Namun lain Hadis menyatakan bahwa, "Seorang ibu sekolah. Jika ia berpendidikan, maka seluruh orang berpendidikan".

Pada awal sejarah Islam ada banyak perempuan ulama yang sangat signifikan peran di dunia Islam. Misalnya Aisyah istri Nabi, beliau adalah salah satu cendekiawan Muslim yang paling terkenal. Tidak hanya itu, ia sangat cerdas, ia memiliki memori yang luar biasa. Itulah sebabnya dia dianggap sebagai salah satu sumber yang paling penting dari Hadis. Telah dinyatakan dalam beberapa laporan Islam bahwa Nabi mengatakan kepada Muslim untuk menemui Aisyah untuk bimbingan dan tugas belajar agama. Nabi juga mengatakan kepada kaum muslimin untuk mempercayai Aisyah dalam mengajar dan dalam memberi bimbingan.

Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
Artinya:Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan..." (QS 3:195).

Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing.

Rasul SAW. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.

Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.

Dalam hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan”. 

Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul SAW., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain.

Artinya: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).

Posisi perempuan didalam Islam ada dalam bingkai yang menjadi sumber sakinah yakni bahagia dan ketenangan. Disini di tuntut sifat kreatif, ulet, tabah, sabar, teguh, konsistensi, jujur, hanif dan mampu menghidangkan keindahan dalam rumah tangga, seperti sudah dipesankan Nabi Muhammad SAW,

Allah itu indah dan sangat menyenangi keindahan