Kamis, 22 Juli 2010 | By: oyil-5225.blogspot.com

REALITAS PENDIDIKAN BERDASARKAN FAKTA SOSIAL


Masalah Ekonomi
            Berdasarkan temuan para mahasiswa dalam kegiatan observasi partisipasi di sekolah-sekolah tingkat SMA/SMK/Madrasah Aliyah di daerah sekitar Cirebon, masalah sosial ekonomi menjadi salah satu kendala dan tantangan yang banyak dihadapi masyarakat.  Meskipun model-model bantuan pemerintah sudah banyak direalisasikan, dalam berbagai bentuk seperti BOS, Bea Siswa, dll. pada kenyataannya masalah ekonomi tetap menjadi salah satu faktor penentu, lanjut dan tidaknya anak-anak menempuh pendidikan pada periode berikutnya. Ungkapan masyarakat yang merasakan bahwa biaya sekolah itu mahal, merupakan suatu realitas dalam dunia pendidikan. Ketika pemerintah berusaha untuk membebaskan SPP misalnya, ternyata masih muncul biaya lain yang dirasakan lebih besar oleh masyarakat. Ada biaya pembangunan, ada biaya pakaian seragam, ada biaya buku yang harus dibeli dan dimiliki siswa.
            Ada kecenderungan munculnya cara pandang korelatif yang signifikan di kalangan penyelenggara pendidikan di negeri ini, semakin mahal biaya sekolah dijamin semakin tinggi mutu pendidikannya, karena itu semakin diminati masyarakat “the have” untuk mendaftarkan anak-anaknya memasuki sekolah tersebut.  Gejala-gejala sosial ini mungkin banyak terjadi di lingkungan masyarakat kota besar, semacam Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan kota-kota besar lainnya. Tetapi masyarakat Indonesia yang mayoritas “miskin” sudah barang tentu tidak mampu menjangkau model pendidikan biaya mahal tersebut. Banyak siswa yang tidak tersentuh oleh santunan bea siswa, hanya karena orang tuanya tidak mempunyai akses ke sekolah tempat dia belajar. Sementara penyaluran bantuan pendidikan untuk keluarga miskin, seringkali terhambat oleh jalur birokrasi yang rumit dengan persyaratan yang sulit. Belum lagi jika dihadapkan pada tingkat kredibilitas moral aparat bawah yang rendah. Niat dan obsesi yang kuat dari seorang kepala daerah atau pemimpin di atas untuk menyalurkan bantuan bagi penduduk miskin atau siswa yatim seringkali menjadi bias.
            Beberapa kasus terhambatnya pendidikan menyangkut kondisi sosial ekonomi, dialami oleh siswa tidak mampu, anak yatim miskin, sehingga mereka harus mengalami drop out. Para siswa yang miskin, yatim dan tergolong ekonomi lemah, harus dibantu biaya pendidikannya melalui program bea siswa dan santunan pendidikan. Para pendidik, khususnya guru agama dituntut secara moral untuk menumbuhkan solidaritas sosial di kalangan teman-teman siswa yang mampu dari segi materi. Dengan menggunakan cara pandang Emile Durkheim dan Ibnu Khaldun, pendidikan secara sosiologis idealnya harus dapat membangun mental kebersamaan, persahabatan, dan ukhuwwah di kalangan siswa (dalam konsep Ibnu Khaldun dikenal dengan istilah  ashabiyyah). Mental kebersamaan inilah yang dapat mewujudkan solidaritas sosial (menurut konsep Durkheim), sehingga teman-teman siswa yang kebetulan memiliki kelebihan rizki, dapat berinfaq secara kolektif untuk membantu biaya pendidikan teman-teman yang miskin.
Menghadapi realitas sosial seperti ini, barangkali pendidikan Islam khususnya, juga harus diarahkan untuk membangun etos kerja para peserta didik, sebagaimana cara pandang Weber dengan konsep etos dan etika Protestan. Meskipun analisis Weber menggunakan ajaran Protestan, karena penelitiannya dilakukan di lingkungan masyarakat penganut gereja Protestan, tetapi konsep etos dan etikanya berdasarkan ajaran agama, bisa menjadi model bagi para pelaksana pendidikan Islam. Islam mempunyai konsep yang universal berkaitan dengan upaya membangun semangat hidup, etos kerja dan etika pergaulan dalam masyarakat. Sayangnya, kurikulum pendidikan Islam dan guru-guru agama hanya mengajarkan Islam formal berkaitan dengan syarat, rukun, sah dan tidak sah, wajib, sunnah dan hukum-hukum formal, untuk bersuci, syarat sah shalat, rukun haji atau sunnah puasa dll. yang sebetulnya sudah diajarkan sejak mereka menempuh pendidikan pada tingkat sekolah dasar dan menengah pertama. Semangat bekerja, semangat belajar dan semangat berusaha untuk mencapai cita-cita dan harapan masa depan, perlu ditanamkan kepada para siswa, agar mereka menjadi remaja atau generasi optimis menghadapi tantangan kehidupan. Kurikulum pendidikan harus dibangun dengan struktur inovatif, sehingga pendidikan tidak terpaku pada materi baku yang bersifat konvensional. Sosiologi Durkheim, Ibnu Khaldun dan Weber misalnya bisa menjadi model pendidikan ke depan, termasuk di dalamnya pendidikan agama Islam yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan. Membentengi para siswa miskin dengan semangat hidup, akan dirasakan lebih berharga, dibandingkan dengan sekedar menghafal syarat, rukun dan sahnya bersuci. Rasulullah mengingatkan bahwa kemiskinan jika tidak dibarengi dengan kekuatan iman, bisa menyeret seseorang menjadi kafir.
Prioritas bantuan bea siswa pendidikan, idealnya diberikan langsung kepada siswa yatim, apalagi yatim piatu. Berdasarkan ayat al- Qur’an dan contoh tindakan sosial Rasulullah, anak yatim mempunyai kedudukan yang istimewa sebagai pihak yang sangat berhak menerima santunan pendidikan. Jangan ada anak yatim terlantar pendidikannya, hanya karena faktor biaya. Jangan biarkan anak yatim menderita batin di lingkungan pergaulan teman-temannya, hanya karena sering ditegur soal spp, biaya pembangunan, biaya test, biaya buku dan entah biaya apalagi. Mereka anak-anak yatim, adalah bagian terbesar dari anak-anak terlantar, yang secara yuridis berdasarkan UUD ’45 harus dipelihara oleh negara dan menjadi tanggung jawab pemerintah.

Anak Yatim Prioritas Utama
                Dalam tanya jawab pada harian Republika, sempat terbaca pertanyaan mengapa anak yatim tidak termasuk delapan asnaf yang berhak menerima zakat, padahal anak yatim tergolong kelompok manusia lemah yang memperoleh prioritas utama dalam al- Qur’an, untuk menerima santunan harta, baik berupa zakat, infaq maupun shodaqoh. Sayangnya jawaban pengasuh kurang proporsional dengan menyebutkan bahwa anak yatim ada yang kaya ada yang miskin. Jawaban ini jelas tidak proporsional, karena al- Qur’an sama sekali tidak pernah menyebutkan katagori kaya atau miskinnya anak yatim.
                Dalam al- Qur’an surat Al- Baqarah, Allah swt. menegaskan bahwa kualitas suatu ibadah, bisa diterima atau tidak, tergantung apakah ibadahnya baik atau tidak. Ibadah yang baik adalah ibadah yang mabrur, orang yang memperoleh nilai mabrur akan mendapatkan kenikmatan (Inna al- abraara lafii na’iim) di dalam surga (Jannatun – Na’iim). Nilai mabrur, sesungguhnya berlaku untuk semua jenis ibadah, bukan cuma ibadah haji. Syahadat harus mabrur, shalat harus mabrur, puasa harus mabrur, zakat juga harus mabrur. Kebaikan ibadah yang bernilai mabrur tidak cukup hanya mengandalkan ibadah ritual semata-mata, dengan menghadap ke barat atau ke timur, berangkat haji - berkali-kali, pulang pergi ke Mekkah atau Madinah. Hakikat kebajikan (Al- Birru) adalah orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, siap memberikan harta yang disukai kepada orang yang lebih membutuhkan, dari kalangan kerabat terdekat (dzawil qurba), anak-anak yatim (al- Yatama), orang-orang miskin (al- Masakiin),  orang-orang yang terlantar dalam perjalanan (wabnassabiil), orang yang minta-minta (wassaailiin).
                Sikap dan perilaku orang yang mengabaikan anak yatim, bahkan dikutuk Allah sebagai orang yang mendustakan agama. Dalam al- Qur’an surat al- Ma’uun ditegaskan perihal orang yang dianggap dusta agamanya, dusta syahadatnya, dusta shalatnya, dusta puasanya, dusta zakat dan hajinya, jika mereka tidak pernah menyantuni anak yatim serta memberi makan orang miskin. Sayang, kalau kita harus menyia-nyiakan seluruh potensi ibadah yang kita lakukan, jika kita tidak pernah tergerak untuk memperhatikan nasib anak-anak yatim, terutama anak-anak yang masih dalam usia wajib belajar, karena kebutuhannya sangat besar. Itulah sebabnya Allah menempatkan anak yatim dalam posisi yang sangat penting untuk disantuni, dalam berbagai aktifitas sosial.

Yatim sebagai Fakir Miskin
                Mengapa Allah tidak menempatkan anak yatim sebagai salah satu bagian dari delapan asnaf yang berhak menerima zakat. Secara sosio antropologis anak yatim adalah sosok fakir dan miskin, karena mereka kelompok masyarakat grass roots yang tidak punya penghasilan tetap. Kalaupun ada penghasilannya, belum tentu mencukupi kebutuhan hidupnya. Tanpa memasukkan anak yatim dalam daftar delapan asnaf, sebetulnya anak yatim secara otomatis sudah menjadi bagian dari kelompok fakir dan miskin.

Yatim sebagai Muallaf
                Al-muallafatu quluubihim adalah kelompok masyarakat yang tergolong lemah mentalnya, lemah hatinya atau masih lemah imannya. Biasanya kita memahami kelompok muallaf adalah mereka yang baru saja masuk Islam atau pemeluk Islam yang baru. Karena mereka yang baru memeluk Islam itu dianggap belum kuat imannya, belum tentu teguh hati dalam mempertahankan keislamannya. Sesungguhnya anak yatim juga adalah kelompok masyarakat yang rentan, tergolong lemah iman dan bisa jadi kurang teguh hati dalam menjalani kehidupan. Jika para yatim yang juga fakir miskin itu dibiarkan terlantar, kelemahan hatinya memungkinkan mereka berputus asa untuk kemudian beralih menjadi kafir, karena bujukan missionaris yang banyak menawarkan bantuan. Inilah barangkali peringatan yang pernah diprediksi oleh Rasulullah : “Kaada al-faqru an yakuuna kufron”

Yatim sebagai Terbelenggu
                Ar- Riqaab yang termasuk dalam kelompok delapan asnaf penerima zakat adalah masyarakat terbelenggu, semacam budak yang tidak memiliki kebebasan atau kemerdekaan hak azasinya terrampas. Dalam konteks ini para tahanan, nara pidana barangkali bisa digolongkan ke dalam kelompok masyarakat yang terbelenggu kemerdekaan atau kebebasannya, sehingga mereka tidak bisa berusaha, tidak bisa bekerja mencari nafkah. Sebab itu mereka berhak menerima zakat, baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya. Anak yatim adalah juga kelompok manusia yang terbelenggu oleh ketidak berdayaan, ketidak mampuan sehingga banyak diantara mereka yang terjebak dengan kemiskinan. Belenggu ketidak berdayaan inilah yang membuat mereka semakin terlantar dalam kesendirian, dan sebab itu mereka wajib memperoleh santunan, termasuk zakat yang dikeluarkan oleh para aghniya.

Yatim sebagai Sabilillah
                Sabilillah mengandung arti pejuang di jalan Allah, termasuk di dalamnya sarana dan fasilitas yang mendukung terwujudnya syiar agama Allah. Para ulama, kyai pimpinan pondok pesantren, ustadz, guru ngaji, para da’i, madrasah, masjid, dll. adalah kelompok sabilillah yang berhak menerima zakat, karena peranan dan tanggung jawabnya dalam mensyiarkan Islam. Aktivitasnya yang cenderung ikhlas berjuang di jalan Allah merupakan kelompok sabilillah yang layak memperoleh penghargaan, dengan memasukkan mereka ke dalam delapan asnaf.
                Sesuai dengan konteks ini, maka anak yatim yang sedang menuntut ilmu di suatu sekolah, pesantren atau lembaga pendidikan lainnya, adalah juga pejuang sabilillah. Banyak isyarat Rasulullah yang menggambarkan bagaimana beratnya tugas menuntut ilmu, juga dirasakan oleh anak yatim. Bayangkan, di tengah siswa lain yang serba berkecukupan, anak yatim harus menderita batin ketika berhadapan dengan banyaknya kebutuhan biaya pendidikan. Meskipun spp katanya sudah dibebaskan, tetapi uang bangunan yang katanya hasil musyawarah komite sekolah cukup mencekik leher mereka. Belum lagi kebutuhan buku, pakaian seragam, dll. adalah tantangan tersendiri bagi seorang anak yatim yang mempunyai semangat tinggi untuk melanjutkan sekolah. Barangkali tidak berlebihan jika Rasulullah memberikan garansi mati syahid bagi mereka yang meninggal di jalan Allah, termasuk yang sedang menuntut ilmu.

Yatim sebagai Ibnu Sabil
                Ibnu Sabil secara leterlek berarti anak terlantar atau orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan panjang demi kebaikan. Mungkin ini bisa terjadi pada seseorang yang sedang bertugas mengendarai kendaraan umum, lalu kecopetan di jalan sehingga tidak memiliki ongkos untuk melanjutkan perjalanan atau pulang kembali. Bisa juga terjadi pada keluarga yang kebetulan menempuh perjalanan panjang, kemudian mengalami musibah atau kecelakaan. Kepada mereka berhak diberikan bagian zakat, sebagai ibnu sabil.
                Anak yatim adalah wujud anak terlantar yang tidak berbapak, terlebih lagi jika mereka juga piatu karena ibunya sudah meninggal. Mereka digolongkan anak terlantar, karena seringkali mengalami kesulitan untuk membiayai pendidikan. Mereka juga banyak mengalami drop out karena tidak mampu melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Sebab itu anak yatim tidak bisa dipisahkan dari kelompok ibnu sabil yang termasuk delapan asnaf penerima zakat. Anak yatim termasuk kelompok individu yang menempuh poerjalanan hidup tanpa biaya cukup.

Yatim sebagai Amil
                Amil adalah panitia penyelenggara yang menampung atau menyalurkan zakat, semacam BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan Sadaqah), yang formal dilakukan oleh pemerintah atau lembaga lain dengan fungsi yang sama. Selama ini banyak pengusaha yang cenderung kurang berminat menitipkan kewajiban zakatnya melalui lembaga formal, kemungkinan karena kredibilitas oknum pengurus lembaga yang tidak amanah. Jadi bukan soal pengusaha muslim yang tidak mau mengeluarkan zakat, sebab banyak diantara mereka yang justru lebih berminat menyerahkan langsung kewajiban zakatnya kepada mustahik yang sebenarnya.
Dalam aktivitas sosial bukan tidak mungkin banyak anak yatim terutama usia remaja terlibat dalam kegiatan pengumpulan dan penyaluran zakat. Mereka yang turut membantu, meskipun mungkin diniati agar mendapatkan imbalan dari aktivitasnya, bisa dimengerti karena kemiskinannya. Anak yatim yang turut terlibat dalam kegiatan sosial, mereka juga bisa menjadi amil yang berhak menerima pembagian zakat sesuai delapan asnaf yang telah ditentukan. Anak yatim yang aktif membantu kegiatan pengumpulan zakat dan shodaqah , berhak memperoleh pembagian sebagaimana panitia lainnya.

Yatim Berhutang
                Kelompok masyarakat berhutang yang tergolong masuk delapan asnaf adalah mereka yang terjerat hutang pada rentenir atau perbankan, sehingga tidak mampu lagi mengembalikan hutangnya. Jerat hutang yang seringkali melilit orang-orang lemah atau kaum dhuafa, itulah yang melatar belakangi mereka harus diberi zakat sebagai mustahik. Kemungkinan ini bisa terjadi pada keluarga yatim, ketika seorang ibu yang ditinggal mati suami, harus menanggung beban anak-anak yatim yang ditinggalkannya. Jika ibunya fakir atau miskin, maka peluang mereka berhutang guna memenuhi kebutuhan hidup sangat terbuka, dan dapat dipastikan mereka juga akan kesulitan mengembalikan hutangnya. Oleh karena itu orang berhutang apalagi ada tanggungan anak yatim di dalamnya, sangat berhak menerima zakat.

Masalah Moralitas
            Moralitas siswa yang terkesan rendah, karena mengalami degradasi dalam pergaulan bebas di kalangan remaja, merupakan realitas sosial yang sekarang ini banyak terjadi dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang diberikan oleh guru, cenderung bersifat transfer ilmu, daripada bimbingan moral ke arah akhlaq al-karimah. Termasuk guru agama di beberapa sekolah tingkat SMA sederajat, lebih banyak berfikir ringan, mengajarkan ilmu agama, memberikan tugas mencatat materi pelajaran atau menghafal ayat-ayat pendek dari al- Qur’an; ketimbang mendampingi kegiatan siswa, memberikan support dalam studi, mendengarkan keluhan dan curahan hati, memberikan pelayanan konsultasi berkaitan dengan pertumbuhan dan tantangan moral yang sedang dialami oleh kebanyakan siswa usia remaja. 
            Beberapa guru agama di SMA dan sederajat merasakan beratnya tantangan moralitas, akibat derasnya arus informasi global, yang membuat para remaja usia SMA lebih condong untuk meniru perilaku yang ditayangkan televisi tanpa seleksi, ketimbang mempertahankan jati diri. Beberapa siswa SMA yang kebetulan menjadi aktifis remaja masjid di sekolahnya, juga merasakan bahwa pendidikan agama yang mereka terima baru dalam taraf formalitas, mengejar target kurikulum, untuk memenuhi tuntutan administrasi. Pendidikan agama dirasakan oleh siswa hampir tidak ada bedanya dengan pelajaran atau bidang studi umum. Padahal pendidikan mestinya lebih mengarah pada hati nurani untuk mengembangkan nilai-nilai moralitas. Jadi berbeda dengan pengajaran yang cenderung mengarahkan  sasaran untuk mencapai kecerdasan akal. Maftuh Basuni, Menteri Agama RI (Tempo, 24 November 2004) menyatakan bahwa pendidikan agama yang berlangsung saat ini cenderung mengedepankan aspek kognisi (pemikiran) daripada aspek asfeksi (perasaan) dan psikomotorik (perilaku/tindakan). Hasil studi Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, juga menegaskan bahwa merosotnya moral dan akhlaq remaja peserta didik, disebabkan oleh kurikulum Pendidikan Agama yang terlampau padat materinya, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran hidup beragama secara utuh. Metodologi Pendidikan Agama kurang mendorong penghayatan terhadap nilai-nilai agama, kurang mampu membangun kesadaran hidup beragama serta menciptakan siswa bermoral.

Mental Siswa Perokok
                Merokok memang merupakan hak azasi setiap orang sesuai kegemaran dan kebiasaannya. Bagi mereka yang terbiasa merokok ada kenikmatan tersendiri saat menghisap, menebarkan asap yang mengepul bergulung-gulung, melayangkan pandangan bebas sebebas berkeliarannya asap rokok yang sedang dinikmati. Konon kabarnya, bagi mereka yang sudah mencandu rokok, ibaratnya masih mending enggak makan sehari, daripada harus meninggalkan rokok. Berapapun biaya yang harus dikeluarkan enggak peduli, yang penting asap rokok harus mengepul, bibir terasa pahit dan asam ketika tidak menjepit sebatang rokok. Kenikmatan merokok memang hanya bisa dirasakan oleh para pecandu dan penggemar rokok, tanpa harus memikirkan akibatnya. Soal kesehatan yang mestinya dijaga, dengan cara mengurangi rokok, agar tidak terjangkit penyakit paru-paru atau sesak nafas, dijawab oleh para pecandu rokok, katanya yang tidak merokok juga banyak yang tidak sehat. Kadang-kadang mereka juga menyaksikan kenyataan yang kontradiktif, ketika seorang dokter menasihati pasiennya supaya meninggalkan rokok, sementara dokter sendiri juga masih banyak yang merokok. Kepala sekolah dan guru-guru di sekolah selalu mengingatkan agar tidak ada siswanya yang merokok, sebab merokok berbahaya bagi kesehatan, merokok berbahaya bagi paru-paru, merokok di sekolah juga tidak etis berdasarkan norma dan etika pendidikan. Sementara itu, masih banyak kepala sekolah yang belum bisa meninggalkan rokoknya, masih banyak guru yang merokok sambil mengajar di dalam kelas, di depan murid-muridnya. Katanya, dengan merokok bisa mendatangkan aspirasi dan inspirasi.
                Merokok memang tidak dilarang, agama juga tidak eksplisit mengharamkan rokok, paling-paling para ulama menempatkan rokok dalam posisi “makruh”. Apalagi kalau melalui rokok anak-anak muda zaman sekarang seringkali mencampurkannya dengan narkoba, shabu-shabu, ganja dan sebangsanya, yang membuat orang menjadi terlena, terbius oleh angan-angan, sejenak melupakan kehidupan dunia, terlebih jika sampai mabok tak sadarkan diri. Makanan  minuman atau candu yang mendekatkan orang pada perilaku tak sadar, hilang akal dan hilang ingatan, bisa diberlakukan hukum haram. Karena itu, meskipun merokok tidak tegas-tegas dilarang oleh agama, sebagian ulama menyebutnya “syubhat”, jika menimbulkan akibat mudharat yang merusak kebersamaan, merusak lingkungan dan merusak kesehatan. Dengan demikian menghindari perilaku merokok, barangkali akan lebih baik, bukan saja bermanfaat bagi kesehatan dirinya, kesehatan lingkungan, juga menghemat anggaran biaya, yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain. Kesehatan sangat mahal harganya, sebab itu upaya preventif melalui dakwah KTR barangkali akan banyak membantu, karena para penggemar dan pecandu rokok belajar menghargai orang lain yang kebetulan merasa terganggu adanya kepulan asap rokok. Masyarakat anti rokok juga bermaksud menghormati para pecandu rokok, melalui program Kawasan Tanpa Rokok, dengan tetap memberi kesempatan merokok tetapi di luar ruangan yang ditelah ditentukan. Bagi orang yang tidak mampu, program KTR barangkali akan dapat lebih menghemat pengeluaran biaya sehari-hari, sehingga bisa digunakan untuk kebetuhan yang lebih urgen. Andaikata setiap hari para pecandu rokok menghabiskan biaya 10 sampai 50 ribu rupiah, maka dalam waktu satu bulan paling tidak 300 ribu rupiah terbakar percuma dan sia-sia. Bagi penduduk miskin, uang tersebut barangkali bisa digunakan untuk membayar spp selama 12 bulan. Meskipun mungkin katanya para pecandu rokok juga telah menyumbang devisa negara melalui bea cukai atau pajak rokok, tetapi akibat buruk yang ditimbulkannya lebih parah menanggung resiko, mengakibatkan munculnya berbagai penyakit.
                Siswa yang bermental perokok, biasanya cenderung malas, acuh terhadap pelajaran, angkuh dalam pergaulan. Kebiasaan merokok di kalangan siswa selama masih dalam status peserta didik, tergolong perilaku menyimpang yang melanggar peraturan dan termasuk siswa tak bermoral alias siswa nakal. Mereka yang sudah terlalu kecanduan atau ketagihan bisa menjadi “mangsa” bagi para penggemar narkoba dan sejenis obat-obatan terlarang lainnya. Forkasih Cirebon salah satu LSM Kota Sehat telah mendapat amanat kesehatan untuk melakukan dakwah kawasan tanpa rokok di kota Cirebon dan sekitarnya. Program ini dimaksudkan agar para pecandu rokok tidak sembarang merokok dalam ruangan tertentu, apalagi ber AC. Ruang seperti perkantoran pemerintah atau swasta, ruang ibadah masjid atau musholla, dan gereja, ruang fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, puskesmas dan angkutan kota layak ditentukan sebagai kawasan tanpa rokok. Menyediakan kawasan tanpa rokok (KTR) di kota Cirebon, sama sekali tidak bermaksud melarang orang untuk merokok. Kepada mereka yang kebetulan sudah mencandu dan tidak bisa dicegah, dipersilakan merokok, tetapi tidak dalam ruangan. Silakan merokok, tetapi keluar dulu dari ruangan yang ditentukan sebagai kawasan tanpa rokok.
                Hak azasi para pecandu rokok, dengan sangat tetap kita hormati, agar kebiasaan merokoknya tidak terbelenggu dengan disediakannya kawasan tanpa rokok. Sebaliknya kepada bapak dan saudara yang kebetulan menjadi penggemar rokok, apapun motif dan alasannya, dengann hormat kami mengajak untuk menghormati masyarakat sekitar yang kebetulan alergi terhadap rokok atau asap rokok. Dalam ruang perkantoran, selayaknya para karyawan tidak mengumbar asap rokok yang bisa menimbulkan polusi dan akibatnya menimbulkan penyakit bengek. Dalam ruangan tempat ibadah, masjid, musholla, gereja, vihara atau puri sangat dianjurkan untuk tidak merokok, meskipun mungkin diperlukan agar tempat ibadah tetap bersih dari udara kotor yang berkeliaran. Dalam ruangan Rumah Sakit, Puskesmas dan Balai pengobatan sangat dianjurkan untuk tidak merokok di sembarang tempat. Begitu pula dalam angkutan umum, para penggemar rokok seharusnya tahu diri, jangan sampai mengumbar polusi yang bisa berakibat sesak nafas bagi manusia di sekelilingnya. Dengan tidak merokok dalam angkutan umum, para bapak dan saudara perokok berat, bisa memperoleh pahala, karena  dapat menolong orang-orang di dalam angkutan umum tersebut` terhindar dari bau asap yang tak sedap, merusak hidung, merusak lingkungan hidup, merusak pernafasan dan merusak paru-paru.
Membuka dan meresmikan Kawasan Tanpa Rokok di kota Cirebon, merupakan komitmen moral masyarakat Kota Sehat, termasuk walikota sebagai pemimpin. Karena pemimpin harus menjadi teladan yang mulya, panutan yang dihormati. Sekadar mencanangkan Kawasan Tanpa Rokok, tidak berarti mengurangi kesempatan merokok bagi para pecandu atau penggemar rokok. Bumi dan alam ini masih sangat luas, jika dibandingkan dengan  ruang yang ditentukan sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Melalui dakwah KTR, akan dilakukan sosialisasi kepada seluruh komponen masyarakat. Forkasih bersama mahasiswa Jurusan Dakwah STAIN Cirebon akan terus melakukan upaya sosialisasi dan publikasi, dengan menempelkan stiker, menawarkan selebaran ke lokasi strategis, di swalayan, rumah sakit, tempat ibadah, di sekolah-sekolah, juga perkantoran pemerintah dan swasta. Bagaimanapun harus diakui bahwa menyediakan Kawasan Tanpa Rokok akan memberi manfaat bagi orang banyak, melindungi masyarakat dari kemungkinan timbulnya berbagai penyakit. Karena itu mendakwahkan program KTR bernilai ibadah. Dakwah KTR selanjutnya akan dilakukan melalui pengajian di masjid-masjid, musholla dan tempat ibadah lainnya. Jika diperlukan Forkasih bersedia melakukan dialog dakwah KTR, untuk mendukung terwujudnya Kota Cirebon yang sehat, menuju Indonesia Sehat 2010. Kepada masyarakat Cirebon dan sekitarnya, marilah kita dukung program Kawasan Tanpa Rokok, dengan kesadaran yang tinggi. Khusus para penggemar atau pecandu rokok, dengan tidak bermaksud mengurangi hak azasi, marilah kita mulai mengurangi kebiasaan merokok, atau lanjutkan kebiasaan merokok di luar ruangan, sehingga tidak harus mengganggu kesehatan orang-orang lain yang kebetulan alergi terhadap asap rokok.

Masalah Lingkungan
Manusia sebagai makhluk mikrokosmos tidak dapat dilepaskan dari alam makro, yaitu lingkungan ( environment ) alam. Oleh karena itu manusia akan sangat senang, hidup pada lingkungan yang subur, bersih, indah permai dengan hamparan padi dan tegaknya gunung, akan nampak darinya suasana aman dan nyaman, menjadikan cermin hubungan yang harmoni antara manusia dan lingkungannya.
Namun, harapan dan dambaan itu akhir-akhir ini dirasakan semakin pudar akibat ulah tangan manusia, yang cenderung merusak lingkungan alam. Dengan dalih pengembangan pemukiman, penerapan sains dan teknologi, peningkatan devisa negara, peningkatan pendapatan daerah, atau dalih lainnya yang berakibat  timbulnya kerusakan lingkungan, mengikis habis peluang pelestarian, sertra mengganggu keharmonisan alam lingkungan. Gejala-gejala yang nampak pada saat ini adalah fenomena yang bertolak belakang dengan harapan manusia, seperti krisis lingkungan, pencemaran lahan produktif, malapetaka banjir, penipisan ozon di atmosfir, hingga ancaman terjadinya hujan api di berbagai belahan bumi.
Munculnya fenomena kerusakan alam menunjukan ketidak harmonisan hubungan manusia dan alam raya, padahal lingkungan alam adalah habitat yang harusnya terpelihara, sebagai sesuatu yang sangat berpengaruh serta menjadi penyangga hidup dan kehidupan. Hal tersebut senada dengan teori “fisis determinis / Environment determine”, bahwa alam sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia.( Al-Qur’an  Kitab Kesalehan Sosial : 266 )
Searah dengan itu, Tata Sukayat ( 2001 : 102 ) mengutip pendapat Edward Buckle dalam bukunya “ History of Civilization in England “ menyatakan If the habitat was carred will give funcition but if not It would make destroy”, jika alam lingkungan dipelihara akan berdaya guna tapi jika dibiarkan rusak akan menimbulkan bencana. Dalam ilmu pengetahuan alam, dikenal dua potensi alamiah, yakni biotik dan a biotik, keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan ekosistem, satu sama lain saling membutuhkan, saling memberi dan menerima. Unsur-unsur biotik sebagai komponen sumber daya alam yang bisa hidup dan bergerak, memanfaatkan unsur-unsur a biotik sebagai komponen sumber daya alam yang mendukung keberlangsungan hidup masing-masing.
Kerusakan alam biasanya berawal dari kerusakan lingkungan abiotik secara alami, meskipun seringkali terjadi juga akibat gerakan atau aksi lingkungan biotik  antara lain karena  perilaku manusia. Sebagai contoh berdasarkan penelitian  WALHI,  DKI Jakarta memiliki 2118 sumber air ( sumur ) dengan kedalaman tidak kurang dari 40 – 200 m, selain itu masih banyak juga ( sekira 1171 ) sumur patek dengan kedalaman kurang dari 40 m, sehingga perkiraan jika sumur yang ada di Jakarta bertambah lagi, diperkirakan pada tahun 2010 wilayahnya akan tergenang air dari permukaan laut atau rata dengan lautan, ini akibat dari tangan-tangan manusia. Peristiwa banjir yang terjadi setiap tahun di ibukota, di tengah suasana pembangunan sarana fisik material, tidak terlepas dari ulah manusia yang tinggal dan menetap di  Jakarta. Pencemaran udara, sungai, laut dan lingkungan alam sekitar terjadi juga akibat tindakan manusia yang kurang bertanggung jawab, dalam memelihara lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Inilah prediksi al- Qur’an yang menunjukkan bukti kebenarannya :  ظهر الفسا د فى البر و البحر بما كسبت أيدى النا س (telah terjadi kerusakan di darat dan di laut akibat tangan-tangan manusia).
Menghadapi tantangan kerusakan lingkungan, tempat kita hidup untuk kesejahteraan masa depan,  sekarang ini kita tidak perlu saling menyalahkan dan mencari-cari kambing hitam. Semua komponen bangsa, khususnya pemuda sebagai genarasi pelanjut kehidupan orang tua, harus menunjukkan tanggung jawab moral untuk menyelamatkan lingkungan alam pemberian Tuhan.  Pemuda sesuai dengan potensi yang dimiliki, serta peluang hidup lebih lama dibandingkan dengan rata-rata generasi tua, mempunyai tugas berat untuk menjadi pionir pembangunan lingkungan (eco development). Dengan potensi tenaga masa muda, kita dapat menggerakkan teman-teman pencinta lingkungan untuk melestarikan, memelihara dan menciptakan suasana lingkungan yang sehat. Dengan potensi akal dan ilmu pengetahuan, para mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda bangsa, dapat mencarikan solusi ilmiah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih parah pada masa mendatang. 
Keseimbangan lingkungan hidup harusnya menjadi visi utama pembangunan demi keselamatan ummat manusia, dengan melaksanakan misi yang jelas, tegas dan terprogram serta memperhatikan hal-hal sbb : 
Pertama, prinsip daya dukung dan konservasi sumber daya alam. Sumber daya alam mempunyai kapsitas daya dukung yang tidak dapat dilampaui. Maka proses pembangunan perlu memperlihatkan kemampuan daya dukung maksimal sumber daya alam.
Kedua, prinsip pencegahan lebih bijaksana dari pada penyelesaian dampak yang sudah terjadi. Maka upaya pencegahan dampak diperlukan dalam berbagai tingkat keputusan, kebijaksanaan, program, proyek, operasional sampai pasca operasional.
Ketiga, pemanfaatan teknologi bagi pengendalian pencemaran perlu dipertimbangkan berdasarkan kemampuan ekonomis dan tingkat penyediaan teknologi yang layak. Bagi lingkungan peka dapat digunakan “ best available technology”.
Keempat, polluters’ must pay principle. Pemrakarsa kegiatan bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatannya. Perkecualian pada prinsip ini adalah apabila kegiatan menyangkut masyarakat berpendapatan rendah dan pemerintah perlu membantu penyelesaiannya.
Kelima, prinsip subtitusi. Sejauh dimungkinkan, produk dan kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun ( B-3 ) perlu diganti dengan produk dan kegiatan yang lebih aman untuk manusia dan lingkungan.
Keenam, prinsip kebersamaan. Pembangunan yang berkelanjutan meliputi pengambilan keputusan dalam ruang lingkup yang luas, berbagai instansi pemerintah, masyarakat luas, bisnis dan akademis. Oleh karena itu, informasi lingkungan perlu diketahui secara luas dan pengambilan keputusan yang menyangkut dampak lingkungan perlu dilakukan dengan tanggung jawab untuk kepentingan bersama.
Ketujuh, manusia sebagai dimensi sentral. Dalam hal ini manusia yang mendapat peran utama dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup adalah pemuda. Di Indonesia diperkirakan 65 % penduduk kita berusia dibawah 25 tahun. Maka kelompok penduduk berusia muda inilah yang akan menghadapi tantangan permasalahan lingkungan hidup.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila pemuda mempersiapkan diri sebagai komponen bangsa yang paling berkepentingan dengan pelaksanaan eco-development. Proses pembangunan yang mengabaikan penanggulangan pelestarian lingkungan hidup akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah. Tanah air Indonesia yang subur, idealnya dapat memberikan kemakmuran pada penduduknya; bisa mengalami krisis lingkungan, krisis sumber daya alam, kurang air, pencemaran sungai dan laut sehingga melahirkan manusia Indonesia kerdil, kurang gizi, miskin dan tidak sehat. Sebelum terlambat kita perlu mempersiapkan diri untuk menjaga lingkungan hidup demi menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia dengan melaksanakan “eco-development”.,
Untuk itu maka generasi muda perlu dibawa secara bertahap keberbagai tingkat penghayatan lingkungan hidup. Pada tahap permulaan generasi muda perlu dibawa ketingkat mengenal berbagai masalah lingkungan hidup, membangkitkan minat generasi muda terhadap masalah lingkungan.  Pada tahap ini dapat direalisasikan dengan memberikan penerangan, ceramah, dialog dan penjelasan mengenai serba-serbi lingkungan hidup.
Tahap kedua adalah pembangkitan kesadaran lingkungan dikalangan generasi muda. Untuk itu maka generasi muda dibawa serta secara langsung menghadapi kenyataan masalah lingkungan hidup yang ada disekitarnya. Sebagai contoh bagaimana pengaruh buruk sampah dan kotoran untuk air minum. Bentuk bahaya yang ditimbulkan dari adanya banjir bagi kehidupan manusia. Tercemarnya air laut dan dampak bagi kehidupan biota laut dan manusia, serta masalah lain yang harus dipaparkan secara jelas dan rinci kepada generasi muda untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan hidup.
Tahap ketiga adalah membawa serta generasi muda secara langsung dalam usaha penanggulangan pencemaran dan masalah lingkungan. Kelompok pemuda perlu dilibatkan aktif dalam program pembangunan dengan pengembangan lingkungan, seperti program penghijauan, pengembangan daerah aliran sungai, pengawetan tanah kritis, penanggulangan sampah rumah tangga, industri, dan lain lain.
Dan pada tahap keempat adalah peranan pemuda sebagai motivator pengembangan lingkungan hidup baik di desa maupun di kota. Pada tahap puncak ini maka pemuda menjadi pendorong masyarakat sekitarnya, yang secara sadar tergerak untuk memelihara lingkungan bukan karena desakan pemerintah atau atasan, tetapi atas dasar kesadaran dan keprihatinan masyarakat itu sendiri untuk menyelamatkan tanah dan air kita. ( Emil Salim : 1981 )
Usaha mengembangkan peranan pemuda dalam lingkungan hidup tidak hanya penting untuk melestarikan alam dan lingkungan hidup itu sendiri, tetapi juga penting bagi pembinaan pribadi dan sikap hidup pemuda sebagai calon pemimpin di masa depan. Sikap hidup yang mengindahkan pengembangan lingkungan  hidup menumbuhkan rasa solidaritas sosial terhadap penduduk yang miskin dan perusak alam. Dorongan untuk mengembangkan lingkungan hidup menumbuhkan sikap membawa serta dan merubah penduduk miskin perusak alam ini menjadi penduduk yang berada dan membina alam.
Akhirnya sadar akan lingkungan  hidup ini mendorong pribadi manusia untuk hidup serasi dengan alam dan dengan begitu menumbuhkan rasa religi pada Tuhan  Sang Maha Pencipta. Kebesaran-Nya sesungguhnya terlukis melalui alam dan isi bumi ini. Maka barang siapa yang mencintai alam akan peka terhadap pengakuan kebesaran Allah pencipta Alam. Dan barang siapa yang merusak alam maka ia adalah makhluk yang tidak menerima keagungan-Nya.
Oleh karena itu maka penyertaan pemuda dalam pengembangan lingkungan hidup tidak hanya penting bagi pembangunan tanah air kita sendiri, tetapi lebih penting bagi pembinaan watak dan pribadi manusia pancasila yang inti hakekatnya adalah penyelarasan diri manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Masalah Free Sex
                Pergaulan bebas tanpa batas yang lebih dikenal generasi muda dengan istilah free sex, telah menggejala di kalangan pelajar. Para pemuda usia sekolah pada tingkat SD, SMP apalagi SMA melalui tayangan televisi dapat diperhatikan, bagaimana masalah free sex hampir menjadi budaya masyarakat. Anak usia SD sekarang ini telah mengenal pergaulan sex bebas pada usia yang sangat dini. Ini menjadi masalah besar bagi dunia pendidikan, apalagi setelah terjadinya pernikahan resmi anak usia SD, seperti yang baru-baru ini terjadi di Nusa Tenggara Barat. Fenomena sosial ini bukan saja “menyakitkan” bagi undang-undang perkawinan, tetapi juga sangat “menyakitkan” bagi dunia pendidikan.
                Free Sex merupakan fakta sosial, karena memang benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata, ketika anak usia sekolah banyak melakukan tindakan menyimpang, sehingga mereka yang seharusnya masih berada pada posisi “siswa’ di sekolah lanjutan, kemudian hamil sebelum menikah  dan terpaksa harus menggugurkan kandungan secara sembunyi-sembunyi. Salah satu pernyataan kritis mengarah pada peran dan tanggung jawab guru pendidikan agama Islam, di manakah “dikau” berada, ketika terjadi kasus siswa hamil sebelum nikah ? Belum pernahkah terpikirkan bagaimana idealnya pendidikan Islam dimenej, agar dapat mengantisipasi gejala-gejala sosial yang banyak muncul akhir-akhir ini di kalangan pelajar. Adakah materi pendidikan agama secara kurikuler dan explisit yang menegaskan perlunya kesehatan reproduksi bagi siswa usia remaja yang sedang bergolak sexualitasnya ? Bagaimana seharusnya mereka “membentengi diri” dari gelora sexualitas yang tinggi, sesuai tuntunan Rasul.  يا معشر الشبا ب من ا ستطا ع منكم البأ ء ة فليتزوج
Apa yang harus dilakukan melalui pendidikan Islam di sekolah misalnya, dalam rangka mempersiapkan diri para siswa berdasarkan ajaran agama, agar, suatu saat ketika mereka harus hidup berkeluarga membangun rumah tangga, cukup ilmu, cukup umur, cukup pisik, cukup mental dan cukup bekal.  Idealnya, pemahaman tentang fungsi keluarga harus ditanamkan dalam kesempatan  Pendidikan Agama Islam pada tingkat usia SMA.


0 komentar:

Posting Komentar