Rabu, 26 Mei 2010 | By: oyil-5225.blogspot.com

PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORAMATIF

BAB 1
PENDAHULUAN

Proyek tradisi dan pembaruan (turats wa tajdid) pemikiran islam pada dasrnya merupakan hasil dialektika kontinu antara transmisi atau warisan dengan inovasi dalam lingkar segetiga hermeneutis penyingkapan umat Islam terhadap warisan masa lalu, tradisi barat dan realitas konkrit-kekinian. Disinyalir oleh banyak pihak masih hegomonik terhadap pola pikir dan kesejahteraan umat islam dewasa ini. Oleh karena itu, Hasan Hanafi menyebut produk pemikiran Islam masa lalu sebagai at-turats (warisan budaya) yang memiliki tiga ciri pokok, yakni: al-manqul ilaini (sesuatu yang kita warisi), al- mafhum lana ( sesuatu yang kita pahami, dan al-muwajjih lisulukina ) sesuatu yang mengarahkan perilaku kita).
Atas dasar itu, sangatlah urgen bersikap kritis terhadap alur kesejahteraan umat islam tersebut melalui telaah atas mainstreaman konsepsi epistimologis yang telah membentuk bangunan pemikiran mereka selama ini dalam rangkai mengurai anyaman kontroksi nalarnya. Secara epistomologis, persoalan utama dalam pendidikan Islam yang berkaitan dengan tindakan kognitif dalam proses kultural, yakni tindakan iktisab al-ma’rifah ( pemerolehan pengetahuan) dan intaj al-ma’rifah ( produksi pengetahuan).
Kondisi riil pendidikan islam seperti di atas tidak dapat dipisahkan dari tendensi “pandangan filosofis” masyarakat muslim, mengingat terdapat kaitan erat dan hubungansinergis antara teori dan praktik pendidikan dengan pandangan filsafat yang mengilhami model dan kerangka pemikiran ( mode and frame of thought) mereka. Oleh karena itu, secara historis-filosiofis, konsip pendidikan islan yang ada sekarang merupakan kesinambungan dari konsep pemikiran keislaman masa lampau yang dihasilkan oleh para pemikir muslim kenamaan, semisal Muhammad bin Idris asy- Syafii, Abu al Hasan al-Asy’ari, Abu Hamid al- Ghozali.
Menurut Fazlur Rahman, pembaruan Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada realisasi Weltanschauung Islam yang asli dan moderen harus bermula pada pendidikan. Dengan demikian, pendidikan islam harus dijadikan sebagai salah satu tema sentarl dari agenga rekonstruksi pemikiran ke depan.
Terkait dengan penyelesaian problem pertama, metode historis-filosofis digunakan untuk menghimpun dan menjaring data-data kualitatif tentang masa lalu setrta menganalisisnya secara terarah, mendalam, dan mendasar (kritis-filosofis) agar peneliti bisa semaksimal mungkin menangkap keutuhan objek penelitian. Sementara itu, dalam hubungannya dengan problem kedua (kontinuitas kajian), penelitian ini diarahkan pada upaya menemukan kaitan, relevansi, dan kontekstualitas objek kajian konteks kekinian sehingga bisa memenuhi tuntutan reasonable.
Pada dasarnya, pendidikan bisa dilihat dari sudut pandang sekaligus, yaitu pendidikan senagai produk budaya (muntaj ats-staqafi) dan pendidikan sebagai produsen budaya (muntij ats-staqafah). Hubungan di antara keduannya bersifat dinamis dialektik sehingga esensi pendiikan adalah proses pembudayaan dan secara bersamaan kebudyaan adalah dasar praksis pendidikan.
Dengan demikian, tyerdapat kaitan organik dan pertautan sinergis antar pendidkan islanm dengan epistemologi sebagai konstruksi dinamis-dialektik al-aql al-mukawwan (objektivitasi rasionallitas budaya) dan al-’aql al-mukawwin ( subjektivasi rasionalitas budaya). Selain dapat dipahami sebagai aktivitas sistematis; dalam arti pemerolehan dan pengalihan pengetahuan dalam institusi-institusi yang dibangun untuk tujuan ini, pendidikan juga dipahami sebagai pengaruh sosial dan personal (perseorangan).
Sementara itu, disertai Fahrudddin yang mengkaji secara sistematis-historis terhadap kaitan organik antara keberdayaan pendidikan islam pada masa kemajuan Islam klasik dengan kondisi budaya, ekonomi, agama, dan politik masa itu memberikan kesimpulan bahwa puncak keberdayaan pendidikan islam terjadi dalam kondisi kaffah dalam agama, kosmopolitan dalam budaya dan ekonomi, dan tidak represif dalam politik. Melalui itu Fahruddin meneliti timbal balik anatar pendidikan Islam dan kondisi budaya, ekonomi, agama, dan politik.
Pada dasarnya, pendidikan bisa dilihat dari dua sudut pandang sekaligus, yaitu pendidikan sebagai produk budaya (muntij ats-staqafi) dan pendidikan sebagai produsen budaya (muntij ats-staqofah). Hubungan diantara keduanya bersifat dinamis-dialektik sehingga esensi pendidikan adalah proses pembudayaan dan secara bersamaan kebudayaan adalah dasar praksis pendidikan.
Dengan demikian, terdapat kaitan organik dan pertautan sinergis anatar pendiikan islam dengan epistimologi sebagai konstruksi dinamis-dialektik al-aql al mukawwan (objektivitasi rasionallitas budaya). Selain dapat dipahami sebagai sistematis; dalam arti pemerolehan dan pengalihan pengeathuan dalam institusi-institudi yang dibangun untuk tujuan ini, pendidikan juga dipahami sebagai personal yang menrntukan budaya dan prilaku kelompok atau individu.
Abad 111, 1V, dan V H. Yang merupakan penggal sejarah masa keemasan Islam, dinilai sebagai fase perkembangan terpenting bagi pendidiakn islam. Sebab, pada abad-abad inilah berlangsung proyek konstruksi budaya secara massif dalam pengalaman sejarah peradaban islam. Budaya dan tradisi pemikiran islam yang berkembang pada masa keemasan tidak bisa di lepaskan dari pengaruh budaya dan tradisi pemikiran yang berkembang pada awal Dinasti Abbasiyah. Dinamika budaya dan tradisi pemikiran di masa ini, sebagaimana dituturkan Ira M. Lapidus, terpolarisasikan ke dalam dua kantong, yaitu kantong kosmopolitan istana dan elit, politik, dan kantong masyarakat urban yang heterogen. Kedua kantong ini mengahsilkan ” ekspresi kultural” yang berlainan, dan hubungan di antara keduannya tidak selalu simbiotik asimilatif, tetapi sering kali justru polaristik konfliktural. Dalam konteks keIndonesiaan, pesantren merupakan istitusi pendidikan yang selain mempunyai corak indigenous ( keaslihan) Indonesia, ia juga mempunyai corak keislaman. Selain mengubah performance pesantren, gelombang neosufisme ternyata juga memunculkan fenomena keberagaman yang bercorak tradisional scripturalisme;v sikap keberagaman yang cenderung pada ligalisme atau penekanan kuat untuk mematuhi syariah secara ketat sebagaimana diperinci dalam fiqih. Sementara di sisi lain, filasafat (pemikiran kritis ) tidak mendapatkan tempat yang layak dn proposional. Sebab, gfilagat dinilai secara, priori sebagai hirarki dan dapat mengguncang sistem beragaman yang telah mapan.

BAB II
A. Sisi Dasar Budaya Pemikiran Islam
Sebuah budaya dan tradisi pemkiran adalah anak kandung zamannya. Ini berarti bahwa konstruksi budaya dan tradisi pemikiran tidak dapat dipisahkan dari determinan-determinan historis yang melingkarinya. Kenyataan tersebut mendorong para sejarawan untuk membuat periodisasi dan tipologisasi kesejarahan atas proses dan produk budaya dunia islam sebagai upaya menjelaskan dan menteorisasikan fenomena-fenomena historis peradaban Islam dalam kurun waktu dan wilayh geogarfis tertentu. Dibanding dengan sejarah Barat Moderen, dalam konteks kekinian, sejarah budaya Arab-Islam sebagai Turats (warisan tradisi masa silam) memang memilki karakteristik dasar yang berbeda. Jika sejarah Barat moderen adalah sejarah strukturasi pemikiran (tarikh bina ar-ra’y ) sehingga di dalamnya senantiasa berlangsung proses dialektis-dinamis dan kritis pemikirannya maka sejarah budaya Arab Islam adalah sejarah keragaman pemikiran (tarikh al-ikhtilaf ar-ra’y) yang berjalan dalam alur reproduktif-reperitif, yang bermula setelah lewatnya kurun kesejarahan awal (klasik) yang merupakan periode formatif dan produktif.
Menurut Mohammad Arkou, periode formatif dan produktif dalam kesejarahan islam berlangsung pada empat abad pertama sehingga pertengahan abad kelimah hijriah. Dominasi nalar ini ditandai, antara lain, oleh kuatnya keyakinan sebagian besar umat islam bahwa pemikjiran para ulama dipandang sebagai dogma yang bersifat absolut, tidak bisa ditentang, dan juga tidak bisa di ganggu gugat.
Bertolak dari hal tersebut, periodisasi kultural sejarah budaya Arab Islam yang digunakan oleh banyak sejarawan pada umumnya didasarkan atas kerangka orde politik yang memang dirasa lebih mudah.
Di satu sisi, klaim-klaim teoretis semacam itu menunjukkan bahwa jatuhnya Daulah Umayyah dan bangkitnya Daulah Abbasiyah, yang tidak sekedar dianggap sebagai pergantian dinasti, tetapi sebuah revolusi yang dimilkji arti penting bagi titik balik dalam sejarah Islam.

B. Tiga Dimensi Epistemologis Tradisi Pemikiran Islam
1. Epistimologi Bayani
Epistimologi bayani muncul bukan sebagai entitas budaya yang a historis, melainkan ia memilki akar kesejarahannya yang panjang dalam pelataran budaya dan tradisi pemikiran Arab. Berdasarkan hal ini, kiranya cukup beralasan jika determinkan historis awal mula peradaban islam adalah sinergi bahasa dan agama.
Nuansa kultural-intelektual semacam itu melahirkan komunitas agamawan-intelektual yang menempatiposisi otoritatif dalam ranah keagamaan dan keilmuan. Ilmu-ilmu yang menjadi lokomatif bagi formulasi keilmuan naqliyah-murni dan keilmuan naqliyah-aqliyah. Imam asyafii merupakan salah satu pioneer utama bayaniyyun yang mentorisasiepistime bayani sebagaiman terformulasikan dalam pendidikan ushul fiqihnya. Dalam analisis Fazlur Rahman, ijma’ pada awalnya bukanlah suatu fakta statis, melainkan proses demokratis yang terus berjalan. Akabn tetapi, pemahaman ijma yang seperti itu kemudian diubah oleh Asyafii menjadib suatu yang formal dan total sehingga tidak tersisapeluang bagi adanya perbedaan.
2. Epistimologi ’irfai
Tema ’irfai dalam kosa kata Arab mengandung arti pengetahuan (al-ma’rifa al-’alim) lantas tema itu populer dikalangan sufi untuk menunjuk arti pengetahuan termulia yang dihujamkan ke lubuk hati melalui cara kashf (penyingkapan mata batin). Secara historis, munculnya fenomena pembedaan antara pengertian ilmu dengan makrifat pada abad ke-3 H, sekaligus juga menandai proses munculnya kecenderungan tasawuf teoritis. Pada masa-masa sebelumnya, kecenderungan tasawuf memang telah tumbuh subur di dunia islam, namun masih dalam bentuk tasawuf suluki, yaitu gerakan moral dari orang-orang yang memperaktikkan hidup asketik.
Kalangan irfaniyyun (para penganut nalar gonostik) tidakn puas hanya berhenti pada pengetahuan tentang hal-hal fenomenal, tetapi mereka terus berjalan hingga sampai pada pengetahuan tentang hal-hal noumenal yang akhirnya justru diluar jangkauan indera dan akal manusia.
3. Epistimologi Burhani
Dalam khazanah kosa kata bahasa Arab, kata al-burhan secara epistimologis berarti argumen yang tegas dan jelas. Secara fundamental, setidaknya terdapat tiga prinsip penting yang melandasi konstruksi epistimologi burhani, yaitu: (1) rasionalisme (al-aqlaniyyah) (2) kausalitas (as-sababiyah) (esensialisme) (al-mahiyyah), yang dikemnamgkan lewat penggunana metode utama: diduksi dan induks, mengingat penetahuan adakalanya di peroleh melalui indera dan adakalanya melalui rasio.
Dalam kenyataan historisnya, sistem epistemik burhani tersebut banyak dikembangkan oleh kalangan filsuf dan ilmuan muslim, semisal al-kindi, al-farabi, ibn sina. Munculnya sistem epistemik ini terkait erat dengan pengaruh budaya Yunani yang merembes ke dunia Islam. Sistem epistemik ”ortodoks” dan arus utama dalam buadaya dan tradisi pemikiran Arab-Islam, paling tidak pada masa gerakan penerjemahan, adalah episteme bayani.

C. Kejayaan Epistemologi Bayani
Sejarah mencatat bahwa aktivitas intelektual yang dilakukan umat islam pada msa-masaawal adalah berijtihad tentang hukum-hukum agama. Aktivitas intelektual ini mengarah pada orientasi pemeliharaan Al-Quran dan motif keagamaan yang seringkali berbenturan dengan realitas politik.
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah berpusat di Damaskus, aktivitas intelektual terus bdrlanjut dan tumbuh berkembang dalam komunitas masyarakat muslim yang dalam istilah Hodgson, disebut dengan the Piety minded, yaitu kelompok masyarakat yang bersikap oposan terhadap penguasa saat itu dan mempunayi sikap keberagaman yang idealistik.
Dalam perkembangan selanjutnya, kejayaan kalangan tradisionalis (Ahlal-Hadits) ditopang oleh kesusksesan ortodoksi teologi Sunni dengan tampilnya Abu Hasan al Asyari yang semula menganut paham mu’tazila (rasionalisme) namun kemudian beralih ke paham tradisionalis. Dengan demikian, cukup beralasan sekiranya al-Asy’ari dipandang sukses dalam menorehkan garis haluan yang menjadi rancang bangun sejarah pemikiran islam.
D. Konteks Historis Kemampuan Bayani
Salah satu karakteristik yang paling menonjol dalam pengumpulan sejarah Islam pada kisaran abad III dan IV H. Adalah polarisasi masyarakat muslim ke dalam kelompok Sunni dan kelompok Syiah. Dengan demikian, madzhab sebagai pengelompokan personal selain berfungsi untuk konsolidasi internal dalam rangka membangun otoritas kolektif, juga berfungsi untuk ”kendaraan” politik para ulama dalam menggalang massa sebagai basis perluasan pengaruh mereka.
Ketika perbedaan-perbedaan politik, teologis, dan hukum mengancam integritas komunitas muslim, ortodoksi islam tampil untuk menyuarakan pemeliharaan kesatuan umatumat, dengan menjadikan ijma’ (konsensus) sebagai alat ”penghukum’ dan sumber hukum yang bisa meredam kian meluasnya perdebatan dan kritik, baik dari dalam maupun luar Sunni.
Relevansi fungsi mendasar ortodoksi tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa, seperti dijelaskan Ira M. Lapidus, meskipun secara formal komunitas muslim berada di bawah kepemimpinan kahlifah dan para ulama sebagai pemegang otoritas sejati tentang islam. Seperti ditandaskan oleh Arkoun, proses terbangunnya ortodoksi merupakan hasil kolaborasi antara ulama dengan penguasa. Kendati jika dirunut secara historis jauh ke belakang cikal bakal ortodoksi memang telaj eksis dan kuat sebelumnya, namun yang jelas kebangkitan Sunni.

BAB III
PERTAUTAN EPISTIMOLOGI BAYANI DAN PENDIDIKAN ISLAM 
PADA MASA KEEMASAN
A. Nalar Kebudayaan Pendidikan Islam
Kebudayaan adalah sesuatu yang khas insani karena hanya manusialah yang mampu menghasilakn kebudayaan. Kebudayaan ada karena ”intervensi” manusia terhadap karya cipata Tuhan. Hanya saja struktur nalar itu menempatkan Tuhan pada posisis yang sangat sentral;, sedangkan alam hanya ditempatkan sebagai media pengantar manusia untuk biasa sanpai kepadanya. Selanjutnya, struktur nalar tersebut memahami Tuhan dengan beroreintasi pada ”moralitas” menuju ke ”pengetahuan” (al ittijah min al-akhlaq ila al-ma’rifah). Dengan corak rasionalis semacam itu, mudah dipahami bila alur kebudayaan Arab-Islam mengerucut pada pengkajian dan kreasi wacana bayani atas fenomena ” kewahyauan” dan medium fenomena ”kealaman” dlam rangka pengenalan Tuhan.
Hubungan organik tersebut tampak sangat jelas sekiranya pendidikan Islam tidaka lagi dipahami dalam makna sempit, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas, yakni tidak hanya dipahami sebagai aktivitas sistematis pemerolehan dan pengalihan bpengetahuan dalam institusi-institusi yang dibangun untuk tujuan ini, tetapi juga berarti pengaruh sosial dan personal yang membentuk budaya dan perilaku kelompok atau individu.
B. Aliran Utama Pemikiran Pendidikan Islam
Aliran pendidikan Islam yang pernah berkembang pada masa keemasan, dengan berpijak pada pendapat Jawwad Ridla, secara garis besar dipetakan menjadi dua macam, yaitu aliran konservatif dan aliran rasional.
1. Aliran Konsevatif
Aliran pendidikan yang mrmpunyai kecenderungan ”keagamaan’ sangat kuat, bahkan hingga tidak jarang bisa menimbulkan beberapa implikasi sebagai berikut:
a. Memaknai ilmu hanya terbatas pada pengetahuan tentang tuhan
b. Berambisi pada keluhuran spiritual hingga bersikap ”mengecilkan” dunia; prioritas diberikan pada jenis pengetahuan yang diyakini bisa menunjuang keluhuran moral dan kebahagiaan di akhirat.
c. Menganggap ” ilmu hanya untuk ilmu” (al-’ilm fadhilah bi dhatih) ilmu secara instriktis dipandang bernilai utama meski tanpa digunakan untuk pengabdian kepada sesama.
Dengan prefesrensi demikian, pendidikan tentu saja jauh dari konsepsi sebagai aktivitas intraksi sosial yang m,enjadi wahana individu menemukan kepribadiannya dan budaya masyarakatnya.
2. Aliran Rasional
Hal pokok yang membedahkan antara aliran rasional dengan aliran konservatif adalah menyangkut cara pandang yang digunakan oleh keduannya dalam memperbincangkan wacana pendidikan. Aliran rasional menggunakan analisi filosofis secara signifikan, tidak seperti halnya aliran konservatif. Dalam pandangan aliran rasional, aktivitas pendidikan dipahami sebagai usaha mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki oleh individu sehingga esensi pendidikan adalah kiat transformasi ragam potensi menjadi kemampuan aktual. Pandangan aliran rasional tidak semata-mata berfungsi untuk mengetahui sesuatu, tetapi juga berfungsi memutuskan terhadap benar salah atau baik buruknya sesuatau. Oleh karena itu, menurut aliran ini, manusia dipandang memilki keabsahan penuh sehingga bisa bertanggung jawab terhadap setiap perbuatannhya.
C. Dominasai Bayani dalam Tradisi Keilmuan Islam
Budaya dan tradisi pemikiran islam yang diwariskan dari generasi terdahulu bisa disebut dengan istilah at-turats al qadim. Secara materiil, at0turats al-qadim sebenarnya tersusun dari beberapa elemen dasar, yaitu kitab suci (wahyu). Warisan kultural ini bisa sampai kepada kita melalui saluran ”cerita” lisan maupun tertulis, bukan melalui saluran partisipasi dan penyaksian langsung.
Menurut Hasan Hanafi, keilmuan Islam sebagai warisan intelektual utama yang samapai kepada kita dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam: keilmuan naqli murni, keilmuan naqli-aqli, dan keilmuan aqli. Dalam analisisnya, Hasan Hanafi menyimpulkan bahwa keilmuan aqli murni tidak meresap secara mendalam hingga ke dasar kesadaran umat sebagaimana meresapnya keilmuan naqli murni dan naqli-aqli.
Berkaitan dengan hal ini, Fazlur Rahman berpendapat bhwa ada beberapa alasan bagui perkembangan terhadap keilmuan tersebut yang semakin kaku hingga secara gradual merosotnya sains dan filasafat.
D. Tendensi Homeostatic Kemunculan Madrasah
Salah satu fungsi utama pendidikan adalah sebagai trans misi keilmuan. Pada awal perkembangannya, transmisi ilmu berpusat pada person-person, bukan pada institusi pendidikan. Dengan demikian, terbangunnya berbagai institusi pendidikan islam berlangsung setelah jaringan ulama menjadi mapan karena ditopang sistem isnad dan ijazah dalam pola transmisi keilmuan. Dalam upaya agar dapat memenuhi tuntutan pertama tersebut, program pengajran institusi formal pendidikan tinggi Islam, madrasah memfokuskan pada kajian keagamaan di institusi pendidikan tinggi islam, khususnya madrasah, kemudian memudar setelah kjian pemikiran Helenistik olh Skolastisisme Islam.
E. Relasi Kuasa Dalam Otoritas Keilmuan
Dalam pengertian sederhana, otoritas biasa dipahami sebagai kewenangan yang diakui atau kekuasaan yang mempunyai keabasahan. Padaperkembangannya, konsep otoritas saklar dan trasendental nabi pun berkembang menjadi sebuah diskursus intelektual-keagamaan yang penuh diwarnai denagan polemik seputar apakah semua berasal dari nabi bersifat ”normatif” atau hanya sebagiannya saja; apakah otoritas nabi sepenuhnya bersifat keagamaan ataukah juga bersifat keduniaan. Permasalahan pertama terkait erat dengan kecenderungan untuk ”mengagamakan” budaya justifikasi teologis dan intervensi politik ke dalam pemikiran fiqih, domain intelektual-keagamaan menjadi rentetan terhadap klaim-klaim dogmatik. Akibatnya pemikiran keagamaan secar pelan-pelan bergeser dari corak reflektif atas realitas menuju corak justifikatif terhadap realitas yangada dengan bungkus ideologi-teologi.

BAB IV
IMPLIKASI KEPENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A. Sketsa Kondisi dan potensi Pesantren
Kenyataan bahwa Islam dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, khususnya pulau Jawa, tidak bisa dilepaskan dari proses panjang asimilasi yang dilalui, di mana pesantren secara intensif terlibat di dalamnya; dan bahkan institusi ini menjadi salah satu media utama pengaruh Islam dalam pembinaan moral bangsa Indonesia. Pesantren di dalam dinamikanya dipandang mempunyi identitas tersendiri yang diistilahkan oleh Abdurrahman Wahid dengan subkultur. Sebagai salah satu buktinya adalah munculnya gagasan dari sebagian pemerhati pendidikan di tanah aiar untuk menyintesakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan moderen dalam rangka menghadirkan wacana pendidikan alternatif.
Dinamika zaman terus berjalan seiring dengan proses modernisasi yang menuntut pesantren untuk mau menerima perubahan dan perkembangan, hanya saja keajekan dan kontinuitas yang ada pada pesantren tersebut; dalm isi, justru diidentifikasikan sebagai penyebab terjadinya kesengjaan antara pesantren dengan derap modernisasi yang berlangsung di dunia luar.
B. Formasi Kultur Pesantren
Peran strategis pesantren yang telah dimainkan selama ini dalam menopang tumbuh-berkembangnya islam di tanah air, khususnya di pulau Jawa, menjadikan pesantren pesantren dicitrakan oleh sebagaian masyarakat muslim sebagai instutisi yang berorentasi pada etos keilmuan yang berbasis pada moralitas keagamaan.
Eksistensi pesantren bermula dari fungsinya sebagai tempat pendidikan keagamaan lanjutan dan pendalaman, bahkan lebih jauh lagi dari itu. Dengan demikian, pandangan yang mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan dan pusat penyiaran Islam tertua dan asli di Indonesia tentunya sangat beralasan.
C. Orentasi Fiqh-Sufistik Pendidikan Pesantren
Perpaduan Fiqih-sufistik yang begitu kuat memengaruhi budaya hidup, dunia pesantren telah mengakibatkan munculnya pola pikir dan tata prilaku komunitas pesantren menyangkut khazanah pengetahuan Islam yang senantiasa berada dalam alur formulasi normatif.
Dengan pola preferensi epistemik- etik di atas, tidak berlebihan sekiranya dinyatakan bahwa otoritas utama dalam pembentukan tata nilai di lingkungan pesantren dipegang oleh hukum fiqh dan kemudian diikuti oleh adat kebiasaan sufi.
D. Kekhasan Pesantren
Pesantren umunya dipandang sebagai basis Islam tradisional; yakni Islam yang masih terikat kuat oleh pemikiran ulama Abad pertengahan yang terbukti berakar kuat pada budaya Arab-Islam masa klasik (skolastik Islam).
Salah satu ciri menonjol wawasan yang berkembang dalam struktur nalar Arab-Islam abad Klasik pertengahan adalah prientasi dari moralitas menuju pengetahuan (al-ittijah min as-suluk wa al-akhlaq ila al-ma’rifah). Ciri wawasan epistemik ini bisa dilihat pada dominasi (hogemoni) cara pandang baik-buruk etis-amaliah, bukan cara pandang benar-salah saintifik-ilmiah terhadap dunia (komunitas) pesantren, bahkan sampai pada aktivitas akademisnya sekalipun.

E. Dilema Madrasah: Kelembagaan dan Pendidikan
Dalam realitas pendidikan islam di tanah air, saat dibicarakan tentang lembaga pendidikan Islam, selain pesantren, maka yang terbayang di benak kita adalah madrasah. Institusi pendidikan Islam ini lahir pada awal abad XXM: yang dapat dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan islamdi Indonesia. Terkait dengan hal itu, kemudian madrasah dipandang oleh para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaruan pendidikan islam di Indonesia.
Tumbuhnya madrasah di tanah air adalah hasil dari tarik-menarik anatara pesantren sebagai lembaga pendidikan asli (tradisional) yang sudah ada di satu sisi, dengan pendidikan Barat (moderen). Setidaknya, terdapat dua kecenderungan yang dapat diidentifikasi dari kemunculan format madrasah: pertama, madrasah-madrasah Diniyyah-Salafiayah yang terus tumbuh dan berkembang dengan peningkatan jumlah maupun pengetahuan kualitas sebagai lembaga tafaqquh fi ad-din (lembaga yang semata-mata berorentasi mendalami agama), dan kedua, madrasah-madarasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, juga memasukkan beberapa materi yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda.
Masuknya madrasah ke dalam subsistem pendidikan nasional memiliki berbagai konsekuensi, antara lain: (1)dimulainya suatu pola pembinaan mengikuti satu ukuran yang mengacu pada sekolah-sekolah pemerintah;(2) madrasah mengikuti kurikulum nsional, (3) madrsah ikut serta dalam Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), dan berbagai peraturan yang diatur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudyaan. Dengan demikian, keuntungan positif yang diperoleh melalui UU tahun1989 dan PP tahun 1990 ternyata juga melahirkan berbagai kendala.
F. Stagnasi Konsep Pendidikan Islam
Pedagogisme adalah pendekatan dalam pendidikan yang menekankan kepentingan peserta didik dan masalah-masalah teknis yang terkait dengannya, tanpa menghiraukan masalah-masalah fundamental, seperti partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan.
Dilihat dari salah satu aspek, titik simpul berbagai hambatan tersebut berpangkal pada persolan ”epistemologi”. Alasannya, sebagai suatu kegiatan sadar tujuan, teoretitasi dan implementasi pendidikan Islam dapat dipandang sebagai ekspresi intelektual-ideologis kiprah manusia dalam meresapi realitas dan mengartikulasikan nilai-norma seiring dengan proses usahanya menggumuli dinamika sosial-budaya yang mengitari.

BAB V
FORMULASI EPISTIMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
A. Tendensi Umum Epistimologi
Pendidikan merupakan bentuk hubungan paling esensial dalam kehidupan manusia sehingga fungsi dan perannya dalam kehidupan yang terus menerus berubah akan tetap langgeng. Dalam kaitannya ini Fazlur Rahman, misalnya, seorang tokoh neomodernisme Islam, juga mengungkapkan kegelisahannya prihal nasib pendidikan Islam.
Dalam konteks ini realasi antara pendidikan dengan kebudayaan, sangat relevan untuk disimak kritik dari Nasr Hamid Abu Zaid yang menyatakan bahwa bangunan pemikiran keagamaan umat islam hingga kini masih ditandai oleh lima karakteristik dasar, yaitu:
(1) penyamaan anatar pemikiran dan agama (2)penafsiran terhadap realitas historis-empiris yang bertumpu pada Causa Prima; (3) bersandar sepenuhnya pada otoritas ”tradisi” (turats) atau Salaf;(4) absolutisme-ideologis, dan (5) pengabdian aspek historis.
Konsep dan praktik pendidikan Islam yang muncul dari ”rahim” ideologi Jabariyah semacam itu tentunya tidak akan sanggup memlopori gerak perubahan, kemajuan, dan pembebasan. Sebaliknya, prinsip pendidikan yang ada hanya sekedar penyadaran posisi, status, dan kewajiban manusia (peserta didik) dalam piramida tatanan hierarkis yang sudah dipredestinasi oleh suatu nasib.
B. Tinjauan Normatif Epistimologis
Al-Qur’an dan As-Sunnah telah memberikan panduan umum tentang tiga persoalan mendasar pemikiran (filsafat) pendidikan, yakni (1) Midan al-haqiqah (ontologi), (2) Nazhariyyat al-ma’rifah (epistimologis) (3) Nazhariyyat-al qiyam (aksiologi). Kerangka dasar wawasan pengetahuan dalam pendidikan Islam telah digariskan oleh Al-Qur’an, khususnya pada QS. Al-alaq (96): 1-5. Di sini, pengetahuan manusia disebut dengan ”pembacaan” (al-qari ah) yang meliputi dua wilayah pokok, yakni (1) pembacaan kitab ”penciptaan” dan (2) pembacaan ”kitab tertulis”. Dengan demikian, pengetahuan manusia adalah sesuatu yang hushuli (tanpa menutup kemungkinan terhadap yang hudhuri) seiring proses dinamis yang digumulinya dalam upaya menyingkap tirai-tirai realitas.
C. Refleksi Epistimologis
Pendidikan merupakan aktovitas kultural yang sangat khusus dan fundamental dalam kehidupan manusia karena tanpa pendidikan mustahil sebuah kebudayaan atau peradaban dapat bertahan hidup. Ini mengandung arti bahwa fungsi kultural pendidikan, jika disederhanakan , meliputi: fungsi konservatif (melestarikan kultur) dan fungsi progesif (memajukan kultur).
Pendidikan sebagai aktivitas kultural yang khusus dan fundamental setidaknya dapat dijelaskan melalui dua perspektif, yakni perspektif historis dan perspektif filosofis. Salah satu hal mendasar dalam pendidikan yang hingga kini belum terpecahnya secara tutas adalah menyangkut persoalan ”epistermologis”, dengan alasan bahwa proses belajar-mengajar dalam teks pendidikan senantiasa memuat unsur penyampaian pengetahuan, ketrampialn, dan lain-lain. Dilihat dari epistimilogis, satu hal yang membedakan pendidikan islam dari pendidikan lainnya adalah pengakuan terhadap keberadaan wahyu (Al-Qur’an dab As-Sunnah nabi) sebagai sumber kebenaran.

BAB VI
A. Kesimpulan
Sebagai turats, historisitas budaya dan tradisi pemikiran Islam dapat dicermati dari terjadinya perubahan, pergeseran, dan kristalisasi struktur tipogisnya akibat pengaruh dinamika konteks historis yang melingkari. Budaya dan tradisi pemikiran Islam pada masa keemasan (abad III-V H) mengadung tiga struktur epistimologis yang saling bersaing, yaitu bayani, irfani, dan burhani. Dari ketiga epistimologi yang saling bersaing tersebut, epistimologi bayani-lah yang paling dominan karena selain ia bersifat ”asali” juga tipikal dengan budaya Arab-Islam dan nalar- keagamaan kalangan tradisionalisme Sunni yang berhasil membangun ortodoksi keagamaan.
B. Saran
Masa keemasan Islam selain menampilkan unsur-unsur kreatif dan progresif yang menjadi sisi kekuatannya, juga menampilkan unsur-unsur reaktif dan finalistik yang mengakibatkan pemekeran budaya dunia Islam tidak mampu brtahan lebih lama. Masa keemasan Islam sebagai bagian dari turats Islam adalah wujud ”Islam historis” yang tidak bisa dianggap identik dengan ”Islam normatif”, betapapun tingginya prestasi budaya yang dicapai.

0 komentar:

Posting Komentar