Selasa, 11 Mei 2010 | By: oyil-5225.blogspot.com

IDEOLOGI PENDIDIKAN DI IRAN


Oleh: Khoiril Mawahib
BAB I 

PENDAHULUAN

Pendidkan merupakan sebuah tonggak landasan yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa, karena baik buruknya pendidikan sangat mempengaruhi segala sesuatu yang ada dalam sebuah Negara baik ekonomi, politik, sosial bahkan nilai-nilai moral suatu bangsa. Dalam prakteknya, Pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan konteks sosial, ekonomi, kultural dan politik dan tidak bisa berdiri sendiri akan tetapi pendidikan menjadi ajang pertarungan kepentingan yang bisa membawa pengaruh pribadi dan kelompok dalam suatu masyarakat tertentu. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri lagi, karena setiap pemimpin yang menduduki pemerintahan ingin melakukan perubahan yang dapat membawa manfaat hajat orang banyak.
Mengenai permasalahan diatas juga terjadi pada masa kejayaan Islam di Iran, dimana pada masa Bani Abbasiah, rakyat Iran cukup damai, aman dan tentram dan ilmu pengetahuan cukup berkembang dikarenakan sistem pendidikan dan ideologi yang berkembang cukup sejalan. Akan tetapi silih bergantinya pemimpin, Pendidikan mulai berubah kembali seperti peradaban pra masa keemasan Islam karena beberapa aliran Islam membawa perubahan pandangan. Pada masa transisi tersebut, banyak rakyat Iran menentang karena perbedaan ideologi yang dapat membawa penyimpangan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ideologi Pendidikan
Ideologi berasal dari kata idea (Inggris), yang artinya gagasan, pengertian. Kata kerja Yunani oida yang berarti mengetahui, melihat dengan budi. Kata “logi” yang berasal dari bahasa Yunani logos yang artinya pengetahuan. Jadi Ideologi mempunyai arti pengetahuan tentang gagasan-gagasan, pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar.[1]
Menurut Alastair C. Macintyre dalam pandangannya, bahwa ideologi mempunyai kata kunci:
1.      Ideologi menggambarkan karakteristik-karakteristik alam, masyarakat maupun keduannya dan hanya bisa dikaji melalui pengkajian secara empiris.
2.      Adanya perhitungan hubungan antara apa yang dilakukam dengan apa yang seharusnya dilakukan.
3.      Ideologi tidak hanya dipercayai oleh kelompok tertentu melainkan diyakini sedemikan rupa sehingga setidaknya merumuskan sebagian keberadaan (eksistensi sosial) mereka bagi mereka serta keyakinan-keyakinan yang mencerminkan kehidupan sosial tertentu.[2]
Dalam pengertian sehari-hari menurut Kaelan,‘idea’ disamakan artinya dengan cita-cita. Dalam perkembangannya terdapat pengertian ideologi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Istilah ideologi pertama kali dikemukakan oleh Destutt de Tracy, seorang Perancis pada tahun 1796. Menurut Tracy, ideologi yaitu ‘science of ideas’, suatu program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat.
Gunawan Setiardjo mengemukakan bahwa ideologi adalah seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.[3] Sedangkan yang dimaksud dengan ideologi pendidikan adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang mengarah dan menggerakkan suatu tindakan kehidupan sosial khususnya dalam bidang pendidikan.[4]
Dari berbagai pendapat diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa ideologi pendidikan merupakan sebuah keyakinan-keyakinan yang melekat pada golongan masyarakat tertentu untuk menggerakkan dan mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dalam masyarakat secara keseluruhan dengan tujuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan kemlasahatan bagi hidup orang banyak.
Ideologi dalam makna negatif dapat diartikan Sebagai false consciousness, Sebagai keyakinan yang tidak ilmiah,  Sebagai keyakinan & ide-ide yang dibangun oleh kelas yang berkuasa untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan mereka. Sedangkan Ideologi dalam makna positif: sebagai sistem keyakinan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok tertentu.[5]
B.     Sejarah Singkat Iran
Sebelum masuk pada pokok permasalahan mengenai ideologi pendidkan yang ada di Iran, perlu diketahui terlebih dahulu perjalanan Negara Iran dari beberapa abad yang telah lalu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ideologi yang berkembang pada saat ini dan bagaimana eksistensi masyarakat dalam menjalani kehidupan.
Bangsa Iran berasal dari Ras Arya yang merupakan salah satu ras Indo-European. Migrasi bangsa Arya ke berbagai belahan bumi seperti ke Asia kecil dan India dimulai pada 2.500 Sebelum Masehi (SM). Peradaban di dataran tinggi Iran dimulai 600 tahun SM di mana saat itu terdapat 2 kerajaan yakni Parsa di sebelah Selatan dan Medes di Timur Laut Iran.
Pada tahun 550 SM, Cyrus the Great berhasil merebut 2 kerajaan Persia tersebut, namun tidak berhasil memperpanjang kekuasaannya. Pada 521 SM Raja Darius mendirikan Dinasti Achaemenid hingga Darius III. Pada 323 SM, Alexander the Great berhasil menaklukan Dinasti Achaemenid. Di masa Dinasti Parthian (Raja Mirthridates II) berhasil menjalin hubungan dengan Cina dan Roma yang dikenal dengan perdagangan sutranya (Silk Road). Pada 220 SM, Dinasti Sassanid mengakhiri kejayaan Dinasti Parthian. Setelah peperangan selama 4 abad, seiring memudarnya Kerajaan Romawi, Kerajaan Persia hancur dan diinvasi oleh Kerajaan Mesir dan Arab lainnya dan berhasil menyebarkan agama Islam.
Dari abad 7 hingga abad 16 Masehi, berbagai Dinasti keturunan Arab, Turki dan Mongol saling berkuasa yakni Dinasti Abbasid, Dinasti Saffarian, Dinasti Samanid. Pada abad ke 16 khususnya pada masa Kerajaan Savafid, tercapai masa kejayaan dalam bidang kerajinan dan pembuatan karpet. Pada abad 17 Dinasti Afshar berkuasa, namun kemudian digantikan oleh Karim Khan Zand yang mendirikan Dinasti Zand di Selatan. Di sebelah Utara Suku Qajar berhasil mematahkan Dinasti Zand dan mendirikan Dinasti Qajar hingga abad 19 dengan Rajanya yang terakhir bernama Ahmad Shah.
Pada tahun1921 terjadi kudeta mileter yang dipimpin oleh Reza Shah Pahlevi yang kemudian menjatuhkan Ahmad Shah dan mengangkat menjadi raja Iran. Anaknya yang bernama mohammad Reza Shah naik tahta dan kemudian naik tahta hingga terjadi revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatollah Imam Khomeini pada tahun 1979.

C.    Perkembangan Ideologi Pendidikan Iran
Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 merupakan revolusi terbesar di dunia disamping revolusi perancis, rusia dan china. Revolusi Iran muncul bukan hanya ada rasa kekecewaan kaum elit atas kebijakan Shah Pahlevi dalam pengambilan kebijakan mengenai pemotongan hubungan Agama dengan peran politik dan sosial melainkan juga kekecewaan seluruh komponen bangsa dan bahkan kaum minoritas.[6] Permasalahan tersebut sejalan dengan pandangan aliran ideologi konservatif yang kurang memperhatikan kaum minoritas, bahkan menyalahkan subyeknya. Orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dianggap kesalahan mereka sendiri dan mengajarkannya untuk bersabar sambil menunggu nasib mereka berubah dengan sendirinya.[7]
Pada masa Shah Reza Pahlevi berkuasa, sarana pendidikan berpusat di kota sedangkan penduduk pedesaan kurang mendapat perhatian, hal itu pula yang menjadikan banyak kalangan mengkritik.[8] Disamping kebijakan seorang pemimpin yang kurang memperhatikan rakyatnya juga didukung sebagian masyarakat muslim syiah yang cenderung tidak mau berusaha keras untuk lebih maju akan tetapi hanya pasrah menunggu keajaiban datang dari tuhan.[9]
Salah satu tokoh penting penentang pemkiran Pahlevi adalah Ali Syariati. Dia dikenal dengan manusia yang kompleks dan hampir gerakan-gerakan di Iran memilikinya. Tidak hanya itu, bahkan Ali Syariati sering mengkritik ulama-ulama syiah yang menurutnya sangat konservatif tidak mau membuka diri. Dia juga dikenal sebagai seorang filosof terkemuka karena pergaulannya yang sangat luas dan mempunyai ideologi yang berwarna-warni.
Menurut Syariati, polarisasi masyarakat terdiri atas dua kutub yang dialektis. Dalam konsepnya dia mengistilahkan kutub Habil dan kutub Qabil, mengambil nama dan karakter dua anak Adam as. Syariati menyebut kutub Qabil sebagai kelas penguasa, yang merupakan pemilik kekuasaan, diantaranya politik, ekonomi dan kekuasaan religius. Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Firaun sebagai lambang penindas, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun sebagai lambang kapital dan kapitalisme, dan kekuasaan intelektual-religius dilambangkan oleh tokoh Bal'am sebagai simbol kemunafikan. Ketiga poros kekuasaan ini saling menunjang dan bekerja sama. Firaun merestui Qarun melakukan perampokan sistematis dan penguasaan atas pasar. Qarun memberikan jaminan finansial dan mendukung kerja intelektual Bal'am sementara  Firaun memberikan jaminan politis. Dan Bal'am sendiri menyediakan basis doktrin untuk membenarkan rezim Firaun dan penguasaan ekonomi Qarun. Ali Syariati menyebut. ketiga komponen penopang kekuasaan Qabil sebagai trinitarianisme-sosial. Sedangkan kutub Habil adalah representasi kelas yang dikuasai, yang ditindas. Kutub Qabil merupakan penjelmaan kelas rakyat (an-nas) yang tercakup di dalamnya: orang-orang tertindas, yang diekploitir dan kaum lemah.
Menurut Syariati, Allah dalam konfrontasi kedua kutub masyarakat ini Allah SWT memihak pada kutub rakyat (Habil). Bahkan, Syari'ati berpendapat bahwa dalam beberapa ayat al-Quran Allah bersinonim dengan An-Nas. Misalnya, dalam surah At-Tagabun ayat 17, "Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik".
Syari'ati menjelaskan bahwa Allah yang dimaksud dalam ayat ini adalah an-nas (rakyat), karena Allah sama sekali tidak membutuhkan pinjaman. Ketika disebutkan, "langit, bumi, di antara keduanya dan di bawah perut bumi adalah kepunyaan Allah", maka dimaknakan bahwa semuanya itu adalah milik rakyat, bukan milik Qarun (perorangan). Selanjutnya, bila dikatakan, "Segala sesuatu akan kembali kepada Allah", maka itu dimaksudkan bahwa keseluruhan manfaat dari kekayaan alam diperuntukkan bagi kemakmuran dan harus kembali kepada rakyat banyak bukan hanya dinikmati kelompok tertentu.
Menurut Syari'ati, rakyat merupakan wakil-wakil Allah sekaligus keluarga-Nya. Syari'ati menyebutkan pula adanya fakta bahwa Al-Qur’an dibuka dengan nama Allah dan diakhiri dengan nama rakyat (an-nas). Ka’bah, kiblat umat Islam disebut sebagai rumah Allah (house of God), bukanlah dimaksudkan Allah butuh rumah melainkan rumah itu adalah milik semua orang (rakyat) dan Makkah disebut pula al-bayt al-'atiq yang artinya adalah kebebasan.
Tentu saja penyamaan An-Nas dengan Allah hanya dalam wacana sosial bukan wacana aqidah. Dalam ranah teologis tetap tidak bisa disamakan antara Allah dengan An-Nas, namun dalam ranah sosiologis, menurut Syariati, keduanya adalah sinonim. Siapapun bisa tidak sepakat, namun inilah sumbangsih pemikiran Syariati yang mampu menerjemahkan kosa kata agama dalam kosa kata  sosiologis. Menurutnya Islam adalah kekuatan yang menjadi pisau tajam yang memprakarsai sebuah perjalanan baru sejarah sosial Islam. Islam tidak semata-mata memuat deretan do'a namun juga perlawanan yang bergelora untuk memberikan manfaat kepada sebanyak-banyaknya manusia. Jean Paul Sartre berkata, "Saya tidak memiliki agama, namun jika harus memilih salah satu, kupilih agamanya Syariati."[10]

D.    Ideologi dan Kemajuan Pendidikan Iran
Negara Islam dikenal pendidikannya yang tertinggal dibandingkan dengan Negara-negara barat. Permasalahan tersebut dikarenakan dunia muslim menabukan filsafat yang muncul pada masa-masa sekarang. Dahulu pada masa keemasan Islam tidak bisa mengabaikan peran filsafat sebagai peletakan basis keilmuwan.[11] Akan tetapi berbeda dengan pandangan Syariati, dimana seorang tokoh tersebut justru bisa membangkitkan Negara Iran dengan pandangan yang kritis terhadap situasi politik, ekonomi dan sosial budaya sehingga hal-hal yang dianggap mempengaruhi pola fikir rakyat Iran mampu diberontak dan menghasilkan peradaban baru oleh pemimpin setelah Syah Pahlevi.[12]
Revolusi yang terjadi di Iran telah memberikan karunia, berkah dan keberhasilan yang begitu berharga bagi rakyat Iran. Revolusi ini telah menghadiahkan nilai-nilai luhur seperti tuntutan kemerdekaan, kebangkitan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kemandirian. Nilai-nilai inilah yang mendorong rakyat Iran untuk terus berjuang memutus ketergantungan di bidang ekonomi, politik, dan budaya asing serta mewujudkan keadilan ekonomi dan kemajuan iptek.
Setelah adanya revolusi, Islam senantiasa menekankan perlunya menuntut ilmu. Dan hal tersebut dilandskan pada ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang mengajak kaum muslimin untuk menuntut ilmu di manapun dan kapanpun. Ajakan ini disikapi secara serius oleh pemerintah dan rakyat Iran. Pada tahap awal, pemerintah Republik Islam Iran berusaha membuka peluang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat untuk bisa mengenyam pendidikan formal, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pasal 30 UUD Republik Islam Iran menyatakan, "Pemerintah berkewajiban menyediakan pendidikan dan pengajaran gratis bagi seluruh rakyat hingga akhir tingkat pendidikan menengah dan mengembangkan pendidikan tinggi secara gratis pula hingga semampunya".
Sejak awal Revolusi Islam, pemerintah Iran telah mencanangkan program perang melawan buta huruf. Terkait hal ini, Bapak Pendiri Revolusi Islam, Imam Khomeini menugaskan dibentuknya Lembaga Kebangkitan Melek Huruf. Dan dengan tekadnya tersebut maka alhasil meningkatkan kemajuan rakyat Iran, angka buta huruf di Iran mencapai 50 persen, namun pasca Revolusi angka ini berhasil ditekan menjadi 10 persen. Prestasi cemerlang Lembaga Kebangkitan Melek Huruf ini bahkan berkali-kali mendapat pujian dan penghargaan dari lembaga-lembaga internasional.
Di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di Iran terus mengalami kemajuan dan pertumbuhan yang pesat baik secara kualitas maupun kuantitas. Setiap tahun, terdapat banyak sekolah yang dibangun di berbagai kawasan di Iran. Pemerintah dan para prakstisi pendidikan juga terus berusaha menyesuaikan kurikulum dan metode pendidikannya dengan pelbagai hasil temuan baru di bidang ilmu pengetahuan.
Pasca Revolusi Islam, para pakar sains dan teknologi di Iran berhasil mencapai kemajuan yang pesat, bahkan tergolong sebagai lompatan ilmiah. Teknologi nano sebagai salah satu dari empat teknologi paling bergengsi dan rumit di dunia, telah bertahun-tahun menjadi fokus perhatian dan penelitian para ilmuan Iran. Teknologi ini bahkan bisa memperbaiki molekul dan sel-sel badan yang rusak. Teknologi nano biasa dimanfaatkan untuk keperluan kedokteran, pertanian, industri, dsb. Hingga kini, Iran tergolong sebagai negara maju di bidang teknologi nano dan berhasil memproduksi sejumlah komoditas dengan bantuan teknologi nano.
Salah satu keberhasilan lainnya Iran di bidang iptek adalah prestasi cemerlang di bidang stem cell atau sel punca. Selama bertahun-tahun, para ilmuan Iran telah mengembangkan teknologi sel punca untuk pengobatan dan keperluan kedokteran lainnya. Sel punca ini mampu memproduksi beragam jenis sel tubuh manusia, karena itu, sel ini memiliki peran yang amat vital. Para ilmuan Iran juga berhasil memanfaatkan teknologi sel punca untuk menyembuhkan beragam penyakit akut yang selama ini sulit diobati. Seperti penyembuhan penyakit buta dan beragam kasus lainnya. Namun prestasi paling berkesan di bidang ini adalah keberhasilan para ilmuan Iran mengkloning seekor kambing dengan memanfaatkan sel punca. Prestasi ini merupakan bukti kemajuan Iran di bidang kedokteran, khususnya dalam reproduksi sel punca.
Pusat Riset Ruyan merupakan lembaga penelitian yang berhasil mengembangkan teknologi stem cell atau sel punca di Iran. Televisi CNN dalam laporannya mengenai kemajuan Iran di bidang teknologi ini menuturkan, "Pusat Riset Ruyan adalah salah satu sentra penelitian sel punca janin di Iran. Di lembaga ini, sains berkembang pesat". CNN dalam laporannya ini juga menambahkan, salah satu penyebab kemajuan Iran di bidang iptek adalah karena para pemimpin negara ini menghendaki ilmu pengetahuan.[13]
Dari pemaparan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Iran mengalami kemajuan yang sangat draktis berkat kerja keras Imam Khomeini pemimpin Iran dan tokoh gerakan Ideologi yaitu Ali Syariati. dan Iran sampai sekarang dikenal dengan Negara Muslim yang mengalami perkembangan tercepat bahkan di negara-negara dunia.

BAB III
PENUTUP

Iran pra revolusi mengalami kemunduran dalam berbagai bidang. Hal tersebut dikarenakan ideologi Islam di Iran yang sangat tertutup dan banyak masyarakat Iran hanya berlandaskan pada teks-teks Al-Qur,an dan Hadits serta beranggapan bahwa segala sesuatu hanya tuhan yang menentukan, sehingga orang malas melakukan sesuatu. Disamping itu kebanyakan aliran Islam tidak ingin menafsirkan teks tersebut dalam ranah keilmuwan dan mengabaikan filsafat sebagai basis keilmuwan sehingga Iran sangat tertinggal.
Melihat fenomena tersebut akhirnya seorang tokoh muslim yang bernama Ali syariati melakukan pergerakan dan pertentangan-pertentangan kepada muslim yang mempunyai aliran-aliran yang dianggapnya konservatif tidak mau membuka diri dengan hal-hal baru dan hanya berpijak pada teks. Pergerakan tersebut membuahkan hasil yang camerlang bagi bangsa Iran. Dan bahkan beberapa tahun terakhir Negara Iran dinobatkan sebagai Negara tercepat perkembangannya di Dunia dan bahkan beberapa kali lipat dengan Negara-negara lain. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pertumbuhan ekonomi, politik dan perkembangan pendidikan yang khususnya perkembangan dalam bidang teknologi yang sangat cepat.

DAFTAR PUSTAKA

http://info.g-excess.com, 10 maret 2010.
M. Agus Nuryatno,  Presentasi Dalam Perkuliahan Mata Kuliah Ideologi Pendidikan, Februari 2010.
William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Abd. Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media,2003.


[2] William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 32.
[4] M. Agus Nuryatno, MA.PhD,  Presentasi Dalam Perkuliahan Mata Kuliah Ideologi Pendidikan, Februari 2010.
[5] Ibid
[7] William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, xiii
[8] Abd. Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media2003, hal. 79.
[11] Ibid..
[12] William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002,xiii

0 komentar:

Posting Komentar