Kamis, 31 Desember 2009 | By: oyil-5225.blogspot.com

Penddidikan Multikultural

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

DALAM PERSPEKTIF AGAMA HINDU

Oleh:

Khoiril Mawahib

07470038

A. Multikulturalisme dan Agama di Indonesia

Multikulturalisme merupakan suatu realitas yang berkembang disetiap negara, karena di dalam negara itu pasti terdapat keberagaman. Tidak ada sebuah negara yang hanya memiliki satu keberagaman atau kemajemukan. Di dalam negara pasti ada kebudayaan yang berbeda. Jika kebudayaan itu dikelola dengan baik akan membuat keberagaman yang indah. Sebaliknya, jika keberagaman itu tidak dikelola dengan baik, maka hanya akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan turun temurun seperti yang dialami oleh negara Indonesia pada akhir-akhir ini.

Anggapan bahwa pemahaman terhadap fenomena multikultural adalah suatu keharusan, karena realitas sosial masyarakat Indonesia pada saat ini terdiri dari bermacam-macam etnis, budaya, bahasa dan agama serta status sosial yang berbeda-beda. Tidak ada satu wilayah, etnis, agama yang terbebas sama sekali dari komunikasi dan interaksi dengan etnis, agama, serta antar golongan lainnya. Isu ini menjadi semakin menarik bersamaan dengan adanya fakta desintegrasi yang diakibatkan oleh realitas multikultur yang membawa korban manusia. Karena itu, persoalan multi budaya dan akibatnya bukan hanya menjadi kepentingan sekelompok orang, tetapi menjadi bagian dari persoalan pemerintah, negara, agama, dan malahan partai politik.

Beranjak dari hal-hal tersebut, memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat yang terdiri dari kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dua kelompok ini harus saling menghargai, kelompok minoritas ingin diakui keberadaannya oleh kelompok mayoritas karena mereka hanya sebagian golongan kecil. Kebutuhan utama dari kelompok minoritas adalah pengakuan terhadap hak hidup mereka, terutama ketika berhadapan dengan kelompok mayoritas.[1] Hal ini berdasarkan gagasan multikulturalisme yang berkembang di Barat yang hanya memperjuangkan hak-hak asasi minoritas dan mengabaikan kewajiban asasi yang seharusnya menjadi balancing dari hak-hak asasi.

Perbedaan-perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat jika dipandang sebelah mata akan menimbulkan gap di masyarakat itu yang berdampak adanya diskriminasi. Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil terhadap orang atau kelompok lain. Biasanya hal ini banyak dirasakan oleh kelompok minoritas karena mendapat perlakuan yang berbeda yang mengarah pada ketidak adilan.[2]

Parsudi Suparlan mengatakan bahwa multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman karena multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan kultur, atau sebuah keyakinan yang mengakui adanya pluralisme kultur sebagai corak kehidupan yang mewarnai keberagaman di masyarakat. Dengan seperti itu, multikulturalisme akan menjadi jembatan yang mengakomodasi perbedaan etnik dan budaya dalam dimensi masyarakat yang plural.[3]

Dari kasus-kasus yang ada di Indonesia ini, perlua adanya penanaman sikap untuk menghargai perbedaan, terutama diimplementasikan di dalam pendidikan formal. Khususnya yang paling berperan dalam hal ini adalah guru, karena beliau yang berinteraksi langsung dengan peserta didik.

Oleh karena itu, di masyarakat perlu diadakannya sebuah perubahan paradigma dalam wawasan multikultural. Paradigma multikultural memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi dan respek kepada agama dan budaya orang lain. Dengan hal ini penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran pelaku di dalamnya untuk saling mengakui dan menghormati keberagaman identitas dan budaya yang disertai dengan semangat kerukunan dan perdamaian. Diharapkan dengan keadaan yang majemuk, pluralitas bangsa, etnis, agama hingga budaya akan bisa mereduksi berbagai pemisu timbulnya konflik.[4]

Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini adalah agama. Antar agama harus ada hubungan yang harmonis. Hubungan atau relasi mengandung pengertian dari kedua belah pihak atau lebih untuk menjalin kerjasama dalam menjalankan tugas dan memikul tanggungjawab serta menguatkan dan memelihara hubungan yang hangat.[5] Hubungan yang damai di antara manusia mencakup berbagai lingkup seperti keluarga, masyarakat dan manusia secara umum.

Dalam upaya membangun hubungan kerjasama antara multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan dua hal. Pertama, penafsiran ulang doktrin-doktrin agama ortodoks yang dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif sehingga agama bukan hanya dipandang bersifat reseptif (mudah menerima) terhadap kearifan budaya lokal, melainkan juga memandu menjadi yang terdepan untuk menguatkan demokrasi dalam masyarakat-masyarakat beragama. Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan yang modern. Masyarakat harus mampu dihadapkan dengan sejarah baru dan mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak mendasarkan pada agama. Kita tidak bisa menghindar dari teori-teori sekuler yang berkembang di dalam masyarakat.[6]

Inti dari agama itu sendiri adalah suatu keyakinan dalam hati mengenai hal yang gaib yang mendorong pemiliknya untuk melakukan sesuatu yang lain dari kehidupan biasa.


B. Pendidikan Multikultural di Indonesia

Di Indonesia pendidikah multikultural baru dikenal sesuai dengan masyarakat yang heterogen, sehingga perlu dikembangkan. Beranjak dari semangat untuk mengembangkan dan menerapkan paradigma multikultural ke dalam sistem pembangunan, sekolah-sekolah formal mulai mengedepankan gagasan-gagasan untuk mengembangkan prinsip-prinsip pendidikan multikultural. Pendidikan kepramukaan, kewiraan, dan kewarganegaraan (PKn) sesungguhnya dilakukan sebagai bagian dari proses usaha membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan.[7]

Untuk mewujudkan model-model pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.[8]

Banks (1993) menyatakan bahwa evolusi pendidikan multikultural terdiri dari empat tahapan, yaitu: Pertama, upaya untuk menyatukan kajian-kajian etnik pada kurikulum; Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnik sebagai usaha untuk menciptakan persamaan hak pendidikan; Keempat, kelompok marginal, seperti perempuan, penyandang cacat, dan lain sebagainya mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan; dan Kelima, perkembangan peradaban budaya menuntut perhatian pada relasi antar-ras, antar-etnik, antar-kultur, dan antar-kelas. Gerakan reformasi pada dunia pendidikan mengupayakan transformasi pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua orang akan menikmati akses yang sama untuk menikmati pendidikan.[9]

Konsep pendidikan multikultural akhirnya menjadi komitmen global sejalan dengan rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi UNESCO tersebut memuat empat seruan, diantaranya adalah: (1) Pendidikan seyogyanya mengembangkan kesadaran untuk memahami dan menerima sistem nilai dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, ras, etnik, dan kultur; (2) Pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat; (3) Pendidikan seyogyanya membangun kesadaran untuk menyelesaikan konflik secara damai; dan (4) Pendidikan seyogyanya meningkatkan pengembangan kualitas toleransi dan kemauan untuk berbagi secara mendalam.[10]

Dalam bukunya Zakiyuddin Baidhawy, menekankan konsep-konsep pendidikan multikultural pada: Pertama, karakteristik belajar hidup dalam perbedaan. Selama ini pendidikan lebih diorientasikan pada tiga pilar pendidikan, yaitu menambah pengetahuan, pembekalan keterampilan hidup (life skill), dan menekankan cara menjadi “orang” sesuai dengan kerangka berfikir peserta didik. Kemudian dalam realitas kehidupan yang plural; Kedua, membangun tiga aspek mutual, yaitu membangun saling percaya (mutual trust), memahami saling pengertian (mutual understanding), dan menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect). Tiga hal ini sebagai hal yang diperlukan pendidikan multikultural yang berorientasi kepada kebersamaan dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak; Ketiga, terbuka dalam berfikir. Pendidikan seyogyanya memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berfikir dan bertindak, bahkan mengadopsi dan beradaptasi terhadap kultur baru yang berbeda, kemudian direspons dengan fikiran terbuka dan tidak terkesan eksklusif; Keempat, apresiasi dan interdependensi. Karakteristik ini mengedepankan tatanan social yang care (peduli), dimana semua anggota masyarakat dapat saling menunjukan apresiasi dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat, karena bagaimanapun juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang dinamis; Kelima, resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan. Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan pendidikan harus mengfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik.[11]

Maka dari itu implementasi pendidikan multikultural tidak akan lepas dari konsep-konsep pembaharuan pendidikan, karena pembaharuan pendidikan mempunyai konsep konstruktif yang membentuk terwujudnya pendidikan multikultural. Dalam melakukan pembaharuan, pendidikan diharapkan mengorientasikan tujuannya lebih bersifat problematis, strategis, aspiratif, menyentuh aspek aplikasi, serta dapat merespon kebutuhan masyarakat. Kemudian dari kerangka ini, tujuan yang dirumuskan meliputi aspek ilahiyyah (teoritis), fisik dan intelektual, kebebasan (liberal), akhlak, profesionalisme, berkualitas, dinamis, dan kreatif sebagai insan kamil dalam kehidupannya.

Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar (2004) pernah mengatakan pentingnya pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan multikulturalisme perlu ditumbuhkembangkan, karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa.[12]

C. Pandangan Hindu Terhadap Prinsip Multikultural

Agama ibarat langit yang teduh dan melindungi kehidupan. Masyarakat harus kembali kepada nilai-nilai dasar yang bersumber pada agama dan falsafah negara kita yakni pancasila yang harus dikembangkan dalam kehidupan. Kearifan lokal yang terkait dengan nilai-nilai pluralitas budaya atau multikulturalisme dalam masyarakat perlu kiranya direposisi untuk mencegah terjadinya konflik.

Dunia pendidikan tidak boleh lepas dari realitas multikultural yang berkembang di masyarakat. Hal itu dapat dimulai dari keluarga, di dalam keluarga harus mengajarkan tentang perbedaan dan keberagaman yang ada di kehidupan ini. Pendidikan multikultural juga perlu dikembangkan di dalam sekolah, lembaga sekolah atau lembaga pendidikan harus lebih memperhatikan hal tersebut supaya anak didik nanti dapat memahami, menerima dan menghormati perbedaan itu.

Di dalam keluarga orang tua adalah guru yang akan memberi materi pendidikan multikultural ini, oleh karena itu peran orang tua dalam pendidikan multikultural ini tidak bisa diabaikan begitu saja, tetap harus mendapat perhatian serius dan segera dapat di optimalkan.

Menurut ajaran Hindu yang di uraikan dalam kitab suci Veda membangun kehidupan dalam keluarga umat beragama dapat di jelaskan secara gamblang dengan melaksanakan ajaran Tat Twam asi, Karma Phala dan Ahimsa.[13] Konsep atau ajaran lain yang mengandung nilai-nilai pluralitas budaya atau multikulturalisme dalam ajaran Hindu adalah Rwa Bhineka, tri hita karana, dan nyama braya. Ajaran tersebut diaplikasikan dalam kebudayaan Bali yang kiranya sangat perlu dipahami sehingga dapat dipakai landasan untuk hidup saling berdampigan dengan etnik lain.[14]

Tat Twam Asi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas, saya adalah kamu dan kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti juga menyakiti diri sendiri (upadesa 2002:42) antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara, hakikat atman yang menjadikn hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu umber yaitu Tuhan, Atman yang menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan terkecil dari Tuhan.

Dalam Upanisad dikatakan “Brahman atma aikhyam“ yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman adalah sama / tunggal sesungguhnya filsafat tatwam asi ini mengandung makna yang sangat dalam. Tatwam asi mengajarkan agar kita senntiasa mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk lain bila diri kita sendiri tidak merasa senang disakiti apa bedanya dengan orang lain, maka dari itu janganlah sekali kali menyakiti hati orang lain, bila dihayati dan diamalkan dengan baik, maka akan terwujud suatu keharmonisan hidup (kerukunan hidup).

Karma Phala merupakan suatu hukum sebab akibat (causalitas) atau aksi reaksi Umat Hindu sangat menyakini akan kebenaran hukum ini, apapun yang dilakukan sengaja maupun tidak sengaja akan menimbulkan dampak / akibat yang harus dipertanggung jawabkan, setiap sebab akan membawa akibat, segala sebab yang berupa perbuatan akan membawa akibat hasil perbuatan, oleh karena itu berlandaskan pada keyakinan tersebut, dalam memupuk kerukunan hidup beragama senantiasa berbuat baik berlandaskan dharma yang dipuji adalah karma sesungguhnya yang menjadikan orang itu berkeadaan baik adalah perbuatan yang baik dan sebaliknya yang menjadikan orang berkeadaan buruk adalah perbuatan yang buruk seseorang akan menjadi baik hanya dengan berbuat kebaikan, seseorang menjadi papa karena perbuatan jahatnya, subha asubha prawirtii yaitu baik buruknya ataupun amal dosa dari suatu perbuatan dari pada karma phala , dharma …..subha karma akan membuahkan kebahagiaan hidup lahir bhatin dan karma yang jahat hina dan adharma kesengsaraan lahir bathin.[15]

Ahimsa, juga merupakan landasan penerapan keharmonisan kehidupan beragama, ahimsa berarti tanpa kekerasan. Secara etimologis ahimsa berarti tidak membunuh, tidak menyakiti hati makhluk hidup lainnya, hendaknya setiap perjuangan membela kebenaran tidak dengan perusakan-perusakan, karena sifat merusak, menjarah, memaksakan, mengancam, menteror, membakar dan lain sebagainya adalah sangat bertentangan dengan ajaran ahimsa: Ahimsyah Paramo dharma, yang artinya ahimsa adalah kebajikan tertinggi, kebenaran (dharma) tertinggi dan pengendalian diri ahimsa kebajikan tertinggi, kebenaran (dharma) tertinggi.[16]

Nilai kerukunan juga termuat dalam ajaran Tata Susila Hindu. Tata Susila merupakan ajaran pengendalian diri dalam pergaulan hidup. manusia sebagai mahluk sosial, ia tidak hidup sendian, ia selalu bersama – sama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup bersama – sama dengan orang lain. Hanya dalam hidup bersama, manusia dapat berkembang dengan wajar. Untuk mewujudkan keselarasan dan kerukunan sebagaimana dimaksud, maka ajaran Tata Susila diapresiasikan dalam bentuk ajaran Tri Kaya Parisuda yang artinya tiga prilaku manusia yang disucikan :

1. Manachika Parisudha, yaitu berpikir yang baik dan benar

2. Wacika Parisudha, yaitu berkata yang baik dan benar

3. Kayika Parisudha, yaitu yang berbuat baik dan benar

Jika ketiga hal diatas dapat dikendalikan dengan baik dan benar, maka dengan sendirinya kerukunan sesama mahluk ciptaan Tuhan itui dapat diwujudkan dalam hidup ditengah – tengah masyarakat yang majemuk.[17]

Weda sebagai kitab suci agama Hindu diyakini bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diwahyukan melalui pendengaran suci para maba rsi pada zaman dahulu. Weda diyakini oleh umat Hindu sebagai “anadi – ananta“ yakni tidak berawal atau tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku sepanjang zaman. Agama Hindu adalah agama yang mengajarkan ajaran yang universal. Ia memberikan kebebasan kepada penganut–penganutnya untuk menghayati dan merasakan sari–sari ajarannya.[18] Penganut Hindu tidak hanya menghafalkan apa yang diajarkan kitab sucinya tetapi juga menerapkannya dalam aspek kehidupan sehari–hari. Dengan sifatnya yang universal tersebut, maka agama Hindu bukanlah agama untuk satu golongan atau bangsa saja. Semua ajaran Hindu bernafaskan weda. Semangat ajaran weda meresapi seluruh ajaran Hindu.

Di dalam agama Hindu juga mempunyai misi yang ingin dicapai dalam kehidupan, misi-misi itu adalah:

1. Menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan visi pendidikan multikultural yakni mewujudkan pendidikan yang mampu mengubah sikap dan perilaku anak didik menjadi manusia yang cerdas dan berbudi pekerti luhur.

2. Menanamkan disiplin yang tinggi, jujur dan penuh dengan tanggung jawab.

3. Menumbuh kembangkan Uradda dan sikap bakti kepada sang Hyang Widhi Wasa, para dewata dan leluhur para guru, orang tua dan masyarakat

4. Menumbuh kembangkan minat dan bakat untuk tekun belajar dan senantiasa bekerja keras, ikhlas dan siap sedia menghadapi berbagai tantangan.[19]

Dalam ajaran yang dianut oleh masyarakat Hindu, terdapat konsep Catur Asrama atau empat jenjang kehidupan, yaitu:

1. Brahmacari adalah masa belajar/menuntut ilmu pengetahuan dimulai dari usia sekolah, yaitu mulai SD sampai dengan tamat perguruan tinggi.

2. Grihasta adalah masa membentuk keluarga melalui perkawinan. Grihasta dilaksanakan setelah tamat sekolah pada usianya yang cukup dewasa, baik dewasa secara jasmani maupun rohani.

3. Wanaprastha adalah masa hidup berada di dalam hutan dengan membuat pertapaan/pasraman, pada masa ini ia berperan sebagai guru spiritual/penasehat.

4. Bhiksuka adalah masa hidup membebaskan diri dari ikatan keduniawian pergi mengembara mengajarkan dharma sisa hidupnya sepenuhnya, diabadikan kepada Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa).[20]

D. Kesimpulan

Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini.

Menurut ajaran Hindu yang di uraikan dalam kitab suci Veda membangun kehidupan dalam keluarga umat beragama dapat di jelaskan secara gamblang dengan melaksanakan ajaran Tat Twam asi, Karma Phala dan Ahimsa. Tat Twam Asi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas, saya adalah kamu dan kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti juga menyakiti diri sendiri (upadesa 2002:42) antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara, hakikat atman yang menjadikn hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu umber yaitu Tuhan, Atman yang menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan terkecil dari Tuhan.

Karma Phala merupakan suatu hukum sebab akibat (causalitas) atau aksi reaksi Umat Hindu sangat menyakini akan kebenaran hukum ini, apapun yang dilakukan sengaja maupun tidak sengaja akan menimbulkan dampak / akibat yang harus dipertanggung jawabkan, setiap sebab akan membawa akibat, segala sebab yang berupa perbuatan akan membawa akibat hasil perbuatan

Ahimsa, juga merupakan landasan penerapan keharmonisan kehidupan beragama, ahimsa berarti tanpa kekerasan

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I wayan. Kebudayaan Lokal, Multikultural, dan Politik Identitas dalam Releksi hubungan Antaretnis antara Kearifan Lokal dengan Warga Cina di Bali. http://okanila.brinkster.net/DataCetak.asp?ID=1289. Diakses tanggal 25 Desember 2009.

Baidhawy, Zakiyuddin. 2007. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga.

Bosse, Pinandita M. Chandra. Pola Pendidikan Multikultural dalam Keluarga Hindu, http://speqlen.co.cc/2008/09/09/pola-pendidikan-multikultural-dalam-keluarga-Hindu/. Diakses tanggal 25 Desember 2009.

El-Ma'hady, Muhaemin. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural. http://re-searchengines.com/muhaemin6-04.html. Diakses tanggal 25 Desember 2009.

Fajar, Malik. 2004. Mendiknas: Kembangkan Pendidikan Multikulturalisme. http://www.gatra.com/2004-08-11/artikel.php?id=43305.

Lubis, M. Ridwan. 2005. Cetak Biru Peran Agama, Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender, dan Demokratisasi dalam Masyarakat Multikultural. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama.

Muhammad Yusri FM. Kependidikan Islam, Jurnal Pemikiran, Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2009.

Pendidikan Multikultural tidak mahal

Rahmat, Pupu Saeful. Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia (Sebuah Kajian terhadap Masalah-Masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini). http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia/. Diakses tanggal 25 Desember 2009.

Sahnan Ginting, Pola Pengembangan Kerukunan Berwawasan Multikultural Dari Sudut Pandangan Agama Hindu. http://speqlen.co.cc/2008/09/05/pola-pengembangan-kerukunan-berwawasan-multikultural-dari-sudut-pandangan-agama-Hindu/.Diakses tanggal 25 Desember 2009.

Suseno, Frans Margins, dkk. 2007. Memahami Hubungan Antar Agama. Yogyakarta: Elsaq Press.

Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.



[1]M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender, dan Demokratisasi Dalam Masyarakat Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), hal. 55.

[2]M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 21.

[3]Pupu Saeful Rahmat. Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia (Sebuah Kajian terhadap Masalah-Masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini). http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia/.

[4]Yuli Riswanti. Kependidikan Islam, Jurnal Pemikiran, Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2009, hal. 29.

[5]Frans Margins Suseno dkk, Memahami Hubungan Antar Agama, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hal. 134.

[6]Muhammad Yusri FM. Kependidikan Islam, Jurnal Pemikiran, Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2009, hal. 5.

[7]Muhammad Yusri FM. Kependidikan Islam, Jurnal Pemikiran, Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2009, hal. 4.

[8]Muhaemin El-Ma'hady. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural. http://re-searchengines.com/muhaemin6-04.html.

[9]Pupu Saeful Rahmat. Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia (Sebuah Kajian terhadap Masalah-Masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini). http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia/.

[10]Pupu Saeful Rahmat. Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia (Sebuah Kajian terhadap Masalah-Masalah Sosial yang Terjadi Dewasa ini). http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia/.

[11]Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. 78-84.

[12]Malik Fajar. 2004. Mendiknas: Kembangkan Pendidikan Multikulturalisme. http://www.gatra.com/2004-08-11/artikel.php?id=43305.

[13]Pinandita M. Chandra Bosse, Pola Pendidikan Multikultural dalam Keluarga Hindu, http://speqlen.co.cc/2008/09/09/pola-pendidikan-multikultural-dalam-keluarga-Hindu/.

[14]I wayan Ardika. Kebudayaan Lokal, Multikultural, dan Politik Identitas dalam Releksi hubungan Antaretnis antara Kearifan Lokal dengan Warga Cina di Bali. http://okanila.brinkster.net/DataCetak.asp?ID=1289.

[15]Pinandita M. Chandra Bosse, Pola Pendidikan Multikultural dalam Keluarga Hindu, http://speqlen.co.cc/2008/09/09/pola-pendidikan-multikultural-dalam-keluarga-Hindu/.

[16]Muhammad Yusri FM. Kependidikan Islam, Jurnal Pemikiran, Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2009, hal 13 dikutip dari Depag RI, Terjemahan Unipasad, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 480.

[17]Sahnan Ginting, Pola Pengembangan Kerukunan Berwawasan Multikultural Dari Sudut Pandangan Agama Hindu. http://speqlen.co.cc/2008/09/05/pola-pengembangan-kerukunan-berwawasan-multikultural-dari-sudut-pandangan-agama-Hindu/.

[18]Ibid

[19]Pinandita M. Chandra Bosse, Pola Pendidikan Multikultural dalam Keluarga Hindu, http://speqlen.co.cc/2008/09/09/pola-pendidikan-multikultural-dalam-keluarga-Hindu/.

[20]Muhammad Yusri FM. Kependidikan Islam, Jurnal Pemikiran, Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2009, hal 15. Dikutip dari Michael Nicholson, Mereka Yang Berjasa Bagi Dunia: Mahatma Gandhi, Terjm. (Jakarta: Gramedia, 1994), hal. 128.

0 komentar:

Posting Komentar